#Egyptology

Mizan Publishing
Chapter #3

Jus Lemon di Tepi Batalyon

Suatu sore sekitar pukul 17.00, sepulang dari Abu Simbel Temple, saya berangkat dengan taksi menuju The Philae Temple. Ongkos taksi tidak sempat saya tawar semurah mungkin. Jadilah harga EGP 50 saya sepakati dengan sang sopir untuk mengantar pulang-pergi dan menunggu beberapa saat di tempat tujuan.

Dengan perasaan ketar-ketir saya duduk di dalam taksi yang menelusuri jalan aspal di pinggiran Sungai Nil. Rute jalan itu mengular dan agak menanjak.

“Berapa menit lagi kita sampai di Kuil Philae?” tanya saya penuh khawatir kepada Husen sang sopir.

“Hawalay khomasta’asyar dai’ah,”6 jawab Husen—orang Nubia asli.

Sepanjang perjalanan saya mencoba menyulam komunikasi dengannya. Namun, dialek Nubia-nya sangat kental mendominasi bahasa Arab ‘Ammiyyah-nya. Sebagai orang yang hampir tak pernah mendengar dialek itu, saya sulit

“Kira-kira lima belas menit.”

sekali memahaminya. Saya hanya bisa menangkap kata-katanya sepenggal-sepenggal saja sehingga berkali-kali saya memintanya mengulang ucapannya.

Maklum, saya banyak sekali bertanya kepadanya karena khawatir telat sampai lokasi tujuan. Karena, jika merujuk pada buku panduan terbitan National Geographic, tertulis di sana bahwa kuil ini sebenarnya tutup pada pukul 16.00. Saya nekat tetap berangkat setelah melihat tahun terbit buku itu adalah 2002. Saya harap-harap cemas. Mudah-mudahan saja ada kebijakan baru tahun ini yang menambah waktu buka kuil ini.

Tak lama, taksi yang kami tumpangi sampai di gerbang pertama Kuil Philae.

“Inta ruh fein? Kalian mau pergi ke mana?” Seorang polisi berseragam hitam-hitam dengan senapan pendek di punggungnya mendekat sembari bertanya.

“Kami akan pergi ke Kuil Philae. Orang ini adalah mahasiswa Al-Azhar dari Kairo yang ingin berkunjung,” Husen menjelaskan.

Saya memperlihatkan karneh7 Universitas Al-Azhar Kairo kepada polisi tersebut. Polisi itu mengangguk-angguk.

Namun, kekhawatiran saya ternyata berusia pendek. Polisi itu menjelaskan bahwa jam kunjungan sudah ditutup

Kartu mahasiswa.

pukul 16.00 tadi. Dia menyarankan saya untuk berkunjung esok paginya. Seketika itu juga saya lemas karena esok hari sudah ada agenda lain.

Taksi pun mundur teratur, sebelum kemudian menepi. Bukan orang Nubia jika Husen tidak bermurah hati. Dia lantas menawarkan diri untuk mengantar saya berkeliling mendekati Kuil Philae. Dia tahu sudut tempat Philae bisa terlihat indah saat senja. Philae di senja hari? Hmm ... memang itu yang saya cari.

Taksi pun berputar arah. Gesit mengejar matahari menguning yang tampak sedang turun perlahan menuju garis cakrawala. Taksi menyusuri jalan aspal kecil di atas bukit berbatu. Sampailah kami di sebuah perkampungan kecil tepat di tepian Bendungan Aswan.

Lihat selengkapnya