Ehing Boburing Bullou

Yovinus
Chapter #4

Bura' Melahirkan Anak

Tanpa terasa, sudah berbulan-bulan Bura’ tinggal di rumah barunya itu. Sehingga tibalah saatnya dia melahirkan. Pagi itu Bura’ merasakan perutnya sakit sekali. Anak dalam kandungannya memberontak, sepertinya segera ingin keluar. Bura’ meringis menahan sakit. Air matanya meleleh memenuhi kedua pipinya yang bersih dan putih. Dia jadi sangat sedih dengan keadaan dirinya.

Di tempat asing seperti ini, dia hanya tinggal sendiri. Siapa yang bisa memberikan pertolongan persalinan kepadanya? Bura’ semakin sedih. Akhirnya dia menangis terisak-isak. Dia lalu teringat pada Olling, suaminya. Bura’ mengeluh. Kamu tidak tahu penderitaanku mengandung anak kita ini suamiku, teriaknya dalam hati. Kamu juga tidak tahu kalau saat ini aku mau melahirkan dan tidak ada seorangpun yang menolongku. Andaikan engkau tahu deritaku. Sakit yang yang kurasakan. Kesedihan dan keputus-asaanku, keluhnya.

Tanpa terasa air matanya semakin deras mengalir. Bura’ sudah pasrah. Kalau memang ajal sudah mau menjemputnya, dia rela. Walaupun pada saat terakhir ini, suaminya tidak berada di dekatnya dan tidak tahu akan keadaannya.

Pada saat yang sangat kritis bagi Bura’ itu, tiba-tiba bibinya Inai Llikai, yaitu seekor naga raksasa yang tinggal dan hidup di salah satu bagian dasar sungai Duhung, tanpa sengaja tengadah dari bawah air. Dia kebetulan melihat keponakannya yang menahan sedang sakit mau melahirkan. Inai Llikai artinya ibu dari si Llikai, nama anak tertuanya.

“Kasihan sekali kamu keponakanku,” desisnya perlahan. “Mau melahirkan sendiri, tanpa suami dan keluarga yang mendampingimu!” Kayany lagi. Lalu Inai Llikai meneriaki anak laki-lakinya, “Llikai, cepat tiup sulingmu. Biar ibu bisa timbul kepermukaan air, untuk segera menolong kakakmu!” Serunya kepada anaknya.

“Ah, Ibu! Kata Llikai. “Pagi-pagi sudah minta dimainkan suling!”

“Cepatlah!. Kakakmu di atas sana perlu pertolongan!”

“Massa sih Ibu bisa melihat ke daratan dan di sana juga aku punya kakak?”

“Iih! Jangan main-main kamu. Dia mau melahirkan dan tidak ada yang menolongnya!” Sambung Inai Llikai. “Cepatlah tiup sulingmu.”

“Ya deh, Bu!” Sahut Llikai lalu meraih sulingnya. Dia memainkan sulingnya dengan irama yang khas dan sangat merdu. Tiba-tiba saja ibunya timbul ke permukaan air. Inai Llikai pun yang masih dalam bentuk seekor naga itu segera menuju tepi pantai dan sesampainya di darat dia pun sudah menjelma jadi seorang manusia, seorang wanita.

“Jangan khawatir anakku!” Desis Inai Llikai ketika dia sudah sampai di depan pintu rumah. Dia memasuki rumah dan langsung menghampiri Bura’ dan sambil berjongkok dia langsung menghiburnya. “Bibi datang menolongmu!”

Bura’ memandang Inai Llikai dengan tatapan kosong. Tampak sekali jika dia sedang sedih dan menanggung beban yang teramat berat. Inai Llikai segera mempersiapkan tempat persalinan dan segala perlengkapannya.

Inai Llikai lalu mengurut perut keponakannya perlahan dengan gerakan mendorong, tetapi setelah beberapa tidak ada anak yang lahir seperti biasanya wanita melahirkan. Di periksanya jari-jemari Bura’ dan di tarik-tariknya, tetap tidak ada juga anak yang lahir. Di bukanya habis kain Bura’, namun tetap tidak ada anak yang lahir. Inai Llikai mengurut-ngurut seluruh tubuh Bura’, tetapi sepertinya sia-sia saja karena sejauh itu anak Bura’ tidak juga lahir. Karena seluruh tubuh Bura’ sudah di periksa dan ternyata anaknya tidak juga lahir, maka Inai Llikai sudah hampir putus asa. Hanya tinggal gelungan rambut panjang Bura’ saja yang belum di bukanya.

“Barangkali dari gelungan rambut kamu, anakku!” Kata Inai Llikai seraya membuka gelungan rambut Bura’.

Begitu gulungan rambut panjang Bura’ terbuka, maka secara tiba- tiba berlemparanlah anak Bura’ sehingga Inai Llikai kerepotan menyambutnya, agar jangan sampai terhempas ke lantai. Setelah di hitungnya, ternyata ada tujuh orang anak. Tiga laki-laki dan empat perempuan.

Inai Llikai tidak perlu repot memotong tali pusar mereka, mengeluarkan tembuni dan membersihkan anak-anak ini. Sebab mereka terlahir dari gelungan rambut ibunya. Tugasnya hanyalah memandikan mereka saja.

Inai Llikai memasukan air ke dalam Kondallah Bullan yaitu sebuah wadah dari kuningan yang khusus digunakan untuk memandikan anak-anak yang baru lahir dan juga anak-anak yang masih kecil. Inai Llikai juga tidak lupa memasukan batu api ke dalam air itu. Batu api adalah sejenis batu ajaib yang selalu panas, dan itu adalah kebiasaan di dalam suku Dohoi Uut Danum untuk memasukannya ke dalam air untuk mandi anak-anak kecil, karena batu api itu dipercaya mempunyai khasiat khusus bagi anak-anak kecil.

Lihat selengkapnya