Bertahun-tahun sudah lewat. Anak-anak Bura’ sudah menjelang akil balig. Dan Bura’ mulai berani melepaskan anak- anaknya berjalan agak jauh. Mereka sering berjalan ke sana kemari dan bahkan secara tidak sengaja, mereka sering sampai ke tempat ayah mereka Olling dan paman-paman mereka di kampung Llavang Bahen.
Tapi anehnya, Olling, tidak suka melihat mereka. Sebab tubuh mereka tinggi besar, berpostur tipis, berdada bidang dan kokoh bagi nyang laki-laki dan tinggi semampai serta ramping bagi yang perempuan, berkulit putih dan berambut hitam panjang. Mereka juga sangat tampan dan cantik, lebih gagah, lebih penuh sopan santun dibandingkan Llunoq Sokuhom, anaknya. Pokoknya segalanya selalu lebih jika dibandingkan anaknya dari Uhit Miou yang dianggapnya Bura’.
Namun para paman mereka seperti Tingang dan Komandai, sangat menyukai anak-anak ini. Dalam hati mereka yakin, bahwa anak-anak ini bukanlah anak orang sembarangan. Merekapun merasa sangat dekat dengan anak-anak ini. Sehingga mereka yakin jika anak-anak itu pasti punya hubungan darah dengan mereka. Tetapi mereka tidak tahu anak siapa anak-anak ini. Tetapi salahnya juga, mereka tidak pernah punya keberanian untuk bertanya tentang asal-usul para pemuda dan pemudi tanggung itu.
Llunoq Sokuhom juga sudah cukup besar. Usianya tidak jauh berbeda dibandingkan Timbang dan adik-adiknya. Semuanya sudah berumur belasan tahun. Dan itu berarti sudah belasan tahun juga Olling dan Bura’ berpisah. Bura’ hidup bersama dengan anak-anaknya, sedangkan Olling hidup bersama Uhit Miou yang di anggapnya Bura’ dan anaknya Llunoq Sokuhom, anak mereka.
***
Pada suatu saat, terjadi musim kemarau panjang di daerah sungai Duhung, sehingga di mana-mana kesulitan air. Sudah berbulan-bulan tidak turun hujan, sehingga permukaan air sungai sangat rendah. Arus airpun tidak deras, dan ini pertanda sangat baik untuk menuba ikan, suatu kebiasaan yang sering dilakukan para penduduk di sepanjang alairan sungai Duhung tatkala musim kemarau tiba.
Memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di situ, setiap kemarau panjang tiba, mereka selalu menuba ikan. Menuba bukan hanya sekedar untuk mendapatkan ikan, tetapi juga sebagai ajang adu keterampilan, adu ilmu, adu ketangkasan dan ajang untuk memamerkan peralatan menuba yang indah-indah dan berhiaskan warna-warni.
Begitu juga halnya dengan Olling dan saudara-saudarinya. Mereka pun mempersiapkan diri untuk ikut menuba. Olling dan saudara-saudaranya sibuk menempa peralatan untuk menuba. Mulai dari tempulin, serempang, dan lain sebagainya. Orang-orang lainpun di daerah itu semuanya pada sibuk mempersiapkan diri.
Timbang, Jambang dan Tihang serta adik-adik perempuan mereka memperhatikan orang-orang sedang menempa peralatan menuba. Tetapi mereka tidak berani mendekati Olling. Karena wajah Olling selalu masam bila melihat mereka. Di samping itu juga, Olling tidak pernah mau menegur mereka, walaupun mereka lebih duluan menegur.
Tapi dalam hati mereka heran sendiri. Mengapa setiap kali melihat Olling, mereka merasa dekat. Diam- diam juga dalam hati mereka bangga, jika seandainya orang seperti Olling bisa jadi ayah mereka. Orangnya tinggi besar, putih, berhidung mancung dengan dagu kokoh dan tampan serta sangat sangat gagah. Mereka sama sekali tidak pernah menduga jika itulah sebenarnya ayah mereka.
Anak-anak Bura’ ini tidak pernah menanyakan siapa sebenarnya ayah mereka. Mereka sangat menyayangi ibu mereka. Mereka tidak sampai hati menyakiti hati ibu mereka dengan menanyakan siapa ayah mereka yang sebenarnya. Sebab ibu mereka begitu mengasihi mereka. Satu kalipun ibu mereka tidak pernah memarahi mereka. Itulah yang membuat mereka tidak pernah mau tahu, siapa sebenarnya ayah mereka. Mereka anggap ayah mereka sudah tidak ada lagi. Bagi mereka, Bura’ adalah seorang ibu sekaligus seorang ayah bagi mereka.
Tingang dan Komandai sangat senang melihat Timbang, Jambang dan Tihang mendekati mereka menempa.
“Senang jalan-jalan di sini, anak-anak?” Tanya Tingang dan Komandai.
“Senang paman.” Jawab mereka sopan.