Ekawarna atau Pancarona?

nii
Chapter #2

Asmaranala

18 Juni 2018, hari di mana aku berdiri saat ini di lapangan sekolah. Suara lantang dari seorang pemimpin upacara itu mengheningkan semuanya.

Aku berdiri di barisan paling belakang, bukan karena aku tidak suka upacara, hanya saja aku sedikit terlambat tadi. Hari pertama aku sudah hampir terlambat.

Selama upacara berlangsung semua berjalan dengan lancar, dan aku mendengarkan dengan baik. Tibalah saat kepala sekolah mengumumkan, akan ada dua orang perwakilan dari murid baru untuk menerima lencana sekaligus sebagai simbol resmi menjadi murid di sekolah ini.

Aku tidak terlalu peduli siapa yang akan menjadi perwakilan itu. Aku melihat ada pernak-pernik di sana. Banyak balon berwarna-warni, aku menduga itu pasti akan diterbangkan ke langit.

Dua orang perwakilan itu maju ke depan dengan sangat kompak. Karena aku penasaran, aku mencoba melihat ke depan. Dan satu hal yang aku tahu saat ini. Jantungku berdetak lebih kencang, aku diam membeku.

Bukan karena aku melihat hantu, aku hanya melihat salah satu punggung dari dua orang itu. Punggung seorang cowok yang sangat kokoh dan juga tegap, terlihat dari luar seragam yang dia pakai. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku. Aku bingung, selama beberapa menit aku hanya diam mematung dengan jantung yang terasa berdebar lebih cepat dibanding sebelumnya.

Aku tidak dapat melihat wajahnya. Aku mendongakkan kepalaku dan sedikit mengangkat tubuhku agar aku bisa melihat wajahnya. Hanya saja, hal ini percuma. Aku tetap tidak bisa melihat wajah dia, bahkan saat dia berbalik.

Setelah acara itu selesai, aku segera berlari ke arah depan, mungkin saja dua orang itu masih ada di sana. Aku kecewa sekarang, mereka sudah pergi entah ke mana.

Semenjak kejadian itu, pikiranku terus mengarah ke cowok itu. Siapa dia, kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda? Inilah yang selalu aku pikirkan sepanjang hari.

Hari-hari pun berlalu. Saat ini aku terpilih untuk menjabat sebagai ketua kelas. Aku merasa senang, karena jujur saja aku suka menjadi pemimpin.

Keesokan harinya, aku berangkat seperti biasa. Memulai kelas dengan semangat, dan bersiap untuk menerima ilmu. Walaupun masuk ke sekolah ini dan juga jurusan di sini adalah keinginan ibuku. Sebelum aku masuk ke sini, aku sudah lebih dulu mendaftar di sebuah pesantren.

Aku memiliki beberapa masalah saat aku menempuh pendidikan di pesantren itu, itulah sebabnya aku memutuskan untuk keluar dari sana. Dan tentu jelas sekali, kedua orang tuaku marah padaku. Mereka langsung memilih sekolah tanpa sepengetahuanku. Sampailah aku menjadi murid dan bersekolah di sini.

Ting..... tong.....

Bel berbunyi, sudah saatnya istirahat sekarang. Aku pergi bersama Iel, dia adalah temanku. Kami berdua pergi ke kantin dan membeli beberapa jajanan di sana.

Setelah kami merasa sudah cukup, kami kembali ke kelas. Kelasku berada dilantai dua. Dan untuk mencapai ke sana aku harus menaiki tangga yang berada di sebelah kopsis dan juga kelas welding (pengelasan).

Brukk

“Maaf, aku enggak sengaja,” ucap seorang siswa yang kini tengah berdiri di hadapanku.

Wajahnya sangat indah untuk dipandang. Dan lagi, jantungku berdetak lebih cepat.

“Ga papa, santai aja.” Aku menahan diriku agar tidak terlihat gugup saat ini.

Lihat selengkapnya