Sudah satu tahun lebih aku menyukai Jitendra, tidak terasa akan selama itu perasaanku untuknya. Hubunganku dengan Jitendra baik-baik saja, kami saling memendam perasaan kami satu sama lain. Aku yang tahu pacaran itu dosa dan tidak boleh dekat dengan lelaki yang bukan mahram, jadi aku memutuskan untuk memendam perasaanku padanya dan sebisa mungkin aku akan menghindari dan juga menyembunyikannya.
Bel istirahat berbunyi. Sorak gembira menggema memenuhi satu sekolah. Waktu ini adalah waktu yang paling di tunggu dan di sukai anak sekolah, terutama diriku dan temanku. Setelah bel berbunyi, aku dan satu temanku, panggil saja ajeng, kami berjalan menuju kopsis untuk membeli beberapa camilan ringan.
Ciri khas Ajeng, dia selalu memakai kacamata karena dia menderita minus dan sudah sangat tinggi sehingga aku melihat bentuk lensa kacamata Ajeng sangat tebal, bahkan mataku akan pusing jika aku mencoba memakainya.
Begitu kami sampai di kopsis, situasinya cukup sepi, hanya ada 4 siswa laki-laki dan satu penjaga kopsis. Aku dan Ajeng cukup canggung saat itu, bagaimanapun setelah aku melihat wajah mereka, aku mengenalinya. Mereka adalah teman satu kelas Jitendra dan saudaraku.
Saat kami sedang memilih ice cream, tiba-tiba ibu kopsis mengatakan, "Oh ini yang pakai kacamata?" Sontak kami kebingungan apa maksud ibu kopsis. Teman Jitendra lalu menjelaskan bukan temanku yang pakai kacamata, melainkan aku. Ternyata, Alan menyukaiku. Dia adalah teman satu kelas Jitendra, dia bernama Alan. Tidak aku sadari, ternyata selama ini Alan menyukaiku. Jujur, aku lebih suka sikap seperti Alan, dia berani mengutarakan perasaannya tanpa memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku tidak suka dengan cowok yang diam dan hanya menunjukkan kode kalau menyukaiku, lebih baik mengutarakan langsung atau melalui teman, dan mengutarakan perasaan bukan berarti mengajak untuk pacaran, hanya mengutarakan saja apa yang hatimu rasakan.
Sejak saat itu, setiap aku lewat koridor menuju kelasku, semua siswa dari kelas Jitendra dan Alan akan duduk berjajar dan berhadapan. Lalu, saat mereka melihatku mereka akan menyorakiku dengan nama Alan. Aku beberapa kali melihat Jitendra ikut duduk di situ, namun raut wajahnya tidak mengenakan. Dia juga jarang atau bahkan tidak kelihatan duduk bersama temannya di koridor itu. Saat aku berjalan di belakang Jitendra dan hampir sampai koridor itu, semua temannya langsung meneriakiku, tetapi Jitendra diam saja dan lebih memilih untuk masuk ke dalam kelas.
Beberapa hari juga Jitendra menunjukkan perubahan. Dia mulai sinis padaku, seperti saat melihatku, dia akan memalingkan wajahnya dan tatapan matanya sangat tajam menusuk. Lalu saat berpapasan, dia juga mempercepat langkahnya mendahuluiku. Ada apa dengan dia?
Aku tidak mau ambil pusing dengan sikap Jitendra, aku juga tidak memiliki kesalahan padanya. Tepat saat ini juga kelasku di tunjuk sebagai petugas upacara dengan aku sebagai pemimpinnya. Kami berlatih setiap pulang sekolah, dan yang melatih ada satu guru olahraga dan juga kakak Paskibraka. Untuk namanya, aku tidak terlalu tahu, aku selalu memanggilnya kakak Paskibraka. Setelah berlatih beberapa hari, kami siap untuk menjadi petugas upacara. Tetapi, upacara tidak dilaksanakan lagi. Kami kecewa, padahal sudah siap, namun upacara tidak dilaksanakan.