Ekawarna atau Pancarona?

nii
Chapter #24

Sakit

Aku pernah berpikir, jika aku menghindari mereka dan menganggap kalau aku tidak melihat mereka semua, maka itu akan baik untukku. Namun, ternyata aku salah mengenai pikiranku. Aku masih tetap di ganggu oleh mereka, gangguan kali ini lebih parah dari pada gangguan sebelumnya.

Sakit yang aku alami pasca kecelakaan bulan lalu, masih terasa sampai sekarang. Rasa sakit itu mulai muncul lagi, aku berkali-kali minum obat yang di berikan dokter saraf yang dulu, tapi rasanya masih tetap sama. Hingga akhirnya, aku direkomendasikan untuk pergi ke rumah sakit yang cukup terkenal di kota ini. Jika seandainya aku mengatakan nama dari rumah sakit ini, dapat aku pastikan kalau kalian akan mengetahuinya.

Aku pergi ke rumah sakit itu menggunakan angkot yang tersedia di desa ini, ditemani oleh teman setiaku yaitu Starla. Sesampainya di rumah sakit, aku segera di bawa ke IGD, karena kondisiku yang sangat pucat kala itu. Aku diberikan sebuah obat pereda nyeri dalam bentuk suntikan, dan obat sirop untuk lambung. Perawat itu menyuntikan obat pereda nyeri itu di salah satu bagian tubuhku. Lalu, aku harus menunggu selama 2 jam untuk melihat reaksi yang di berikan obat itu.

Setelah lama aku menunggu, aku merasa jauh lebih baik. Jadi, setelah itu aku dipulangkan. Di rumah, aku rutin meminum obat yang di berikan di rumah sakit itu. Keesokan harinya, kepalaku terasa jauh lebih pusing daripada sebelumnya. Starla membawaku lagi ke rumah sakit itu, kami langsung memasuki bagian IGD seperti kemarin, dan menunggu beberapa menit hingga aku di periksa oleh dokter.

Awalnya aku hanya ingin ke poli biasa saja, ya periksa ke dokter umum, tapi ada dokter yang menyuruhku untuk langsung ke IGD saja, jadi aku ikuti kata dokter itu. Setelah aku di periksa, perawat itu mengatakan aku baik-baik saja. Justru mereka memarahiku, dan mengatakan kalau kami ini tidak tahu mengenai IGD, kata-kata mereka juga tidak enak untuk di dengar. Perawat itu mengusir kami berdua, tapi dia memberitahu dan memintaku untuk berobat ke dokter saraf yang cukup terkenal di kota ini.

Aku dan Starla lantas segera pergi ke tempat dokter itu, kami jalan kaki. Ternyata jaraknya sejauh itu dengan rumah sakit tadi. Aku menunggu dan mengantre di klinik, dokternya sangat ramah dan juga lugas. Beliau mengatakan kalau sekarang tidak terlalu parah, tetapi jika nanti timbul rasa mual dan muntah, maka itu akan sangat berbahaya dan di anjurkan untuk segera menemui dokter ini lagi.

Aku menebus obat dan menunggu beberapa jam lagi. Sehabis shalat maghrib, kami bingung untuk pulang, teleponku berdering. Muncul nama Citra di layar beranda, Citra menanyakan keadaanku dan dia bilang kalau nanti mas Angkasa akan menjemputku bersama Kavindra menggunakan sepeda motor. Mas Angkasa menelepon untuk meminta lokasiku sekarang, dia juga memintaku untuk tidak pergi jauh dari klinik ini.

Sembari menunggu mereka berdua, ponselku berdering lagi, menunjukkan ada panggilan yang masuk. Bu camat meneleponku dan bertanya tentang keadaanku, ternyata beliau sudah tahu kejadian tadi saat aku di usir dari rumah sakit itu. Beliau sangat menyayangkan mengenai pelayanan di sana, tidak seharusnya mereka melakukan itu. Beliau juga bertanya mengenai kendaraan yang aku gunakan untuk pulang. Aku memberitahu kalau mas Angkasa dan Kavindra sedang dalam perjalanan kemari. Bu camat merasa lega dan menutup teleponnya.

Tak berselang lama, mas Angkasa dan Kavindra sudah sampai, dan masing-masing dari mereka membawa sebuah sepeda motor. Seperti biasa, aku akan kebagian untuk berboncengan dengan Kavindra, aku juga heran, kenapa aku selalu bersama dengan dia? Aku tidak bertanya tentang hal ini. Namun, pernah suatu waktu aku ingin bergantian dengan mbak Starla untuk berboncengan dengan mas Angkasa. Tepat saat itu kami sedang melakukan progres dari divisi kami. Tiba-tiba saja motor yang mas Angkasa tumpangi mendadak mati, mas Angkasa berusaha untuk menyalakan motor ini, tetapi percuma saja. Sudah 5 menit mas Angkasa mencoba, akhirnya menyerah juga. Mas Angkasa meminta Kavindra yang menaiki motor ini dan aku terkejut. Motor ini langsung menyala kembali saat Kavindra yang menggunakannya. Tak punya pilihan lain, jadi setiap akan pergi, aku selalu berboncengan dengannya.

Kavindra mengusulkan ide untuk berhenti sebentar di sebuah tempat makan yang menjual ayam goreng. Dia bilang kalau perutnya sangat lapar. Kami berhenti untuk makan dan sembari membahas apa yang terjadi tadi. Kavindra memesan satu ekor ayam utuh, lalu kami semua mendapatkan nasi masing-masing satu. Setelah selesai makan, aku menumbuk obat untuk aku minum, aku tidak bisa minum obat yang ukurannya besar secara langsung, jadi aku harus menghancurkannya terlebih dahulu.

Kami berbincang-bincang mengenai masalah yang tadi. Kavindra tampak sangat kesal dan emosi mendengar ceritaku dan juga Starla.

"Harusnya kalian pergi dengan gue, harusnya gue ikut. Gue bakal lawan mereka." ujarnya dengan raut wajah dan nada yang kesal.

"Itulah sebabnya kita tidak pergi denganmu, mungkin saja nanti kamu akan berantem Vi." ucapku menimpali ucapannya. "Ya sudahlah, lupain aja. Kita juga baik-baik aja, mungkin dia lagi haid." imbuhku.

"Obatnya udah di minum?" tanya Kavindra dengan nada yang lembut.

"Udah, ayo kita pulang." ajakku.

Kami mulai melanjutkan perjalanan kami, tetapi sebelumnya Kavindra sudah memberitahu untuk membeli jahe di alun-alun kota. Dia bilang kalau jahe itu akan membuat badanku hangat dan meningkatkan imunitas tubuh.

Lihat selengkapnya