Hari ini, aku akan pergi ke klinik dokter saraf yang kemarin memeriksaku. Aku akan meminta surat perizinan atau keterangan dokter, agar aku bisa pulang kampung dan beristirahat sebentar di rumah. Menurut Kavindra, aku tidak usah meminta surat itu, tinggal aku pulang di hari libur saja. Namun, aku tetap keras kepala dan ingin meminta surat itu, mungkin saja surat berguna di kemudian hari. Kavindra menyerah, akhirnya dia ikut denganku. Aku ingat Kavindra mengatakan, ke mana pun aku pergi, aku harus pergi bersamanya dan dia akan ikut denganku. "Ke mana pun kamu pergi, harus denganku." ujar Kavindra kala itu. Dia benar-benar membuktikan ucapannya. Dia selalu ikut ke mana pun aku pergi dan saat aku membutuhkannya, dia akan selalu ada.
Kami berempat menaiki angkot untuk sampai di klinik itu. Sesampainya di alun-alun, kami diturunkan. Rencananya kami akan berjalan kaki dari alun-alun menuju klinik. Namun, di tengah jalan kepalaku terasa sangat pusing dan aku ingin pingsan detik ini juga.
Mbak Starla segera memanggil Kavindra dan memberitahu jika aku ingin pingsan. Kavindra segera memesan grab, setelah beberapa menit menunggu, grab pun datang. Kavindra lalu memegang pergelangan tanganku yang masih terbungkus baju, menuntunku untuk masuk ke dalam mobil.
Sopir grab yang tahu aku sedang sakit, beliau merekomendasikan untuk membawaku ke rumah sakit yang jauh lebih bagus dan penanganannya lebih baik dibandingkan rumah sakit yang kemarin mengusirku. Mobil melaju menuju rumah sakit ini. Sesampainya di rumah sakit, aku di bawa oleh beberapa perawat menggunakan brankar dan segera mendapat pertolongan.
Seperti kemarin, aku di berikan obat pereda nyeri berupa suntikan. Sakit sekali rasanya di suntik dua kali, apalagi setelah obat ini masuk ke tubuhku, bukannya malah membaik justru malah semakin sakit. Perawat juga menganjurkan untuk menunggu 2 jam seperti biasa.
Selama 2 jam itu, ada mas Angkasa yang senantiasa berada di sampingku. Untuk menyalurkan rasa sakitku, dengan suka rela mas Angkasa memberikan tangannya untuk aku cubit. Aku yang saat itu sedang menahan betapa sakitnya kepalaku, dengan segera mengambil uluran tangan itu dan langsung mencubit tangan mas Angkasa. Aku lupa memotong kuku jari tanganku, sehingga menimbulkan luka dan juga darah di sekujur tangan mas Angkasa.
Aku melihat ekspresinya menahan sakit. Dia hanya terdiam, tidak marah atau mengeluarkan kata sedikit pun. Bahkan dia mengatakan, dirinya seperti berada dalam simulasi menjadi seorang suami yang menunggu istrinya melahirkan. Aku hanya tertawa dan menjawab, "Baguslah, berarti nanti mas Angkasa ga akan kaget jika menikah nanti, haha."
Kami bercerita dan mas Angkasa menghiburku, membuatku tertawa agar rasa sakit yang aku rasakan sedikit berkurang. Aku seperti sedang bersama kakakku. Kami memang sangat dekat, dan aku menganggap dia bagian dari keluarga, sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri.
Setelah 2 jam, perawat itu datang lagi untuk memeriksaku. Kepalaku masih terasa berat, perawat itu hanya kebingungan dan meracik obat untukku bawa pulang. Aku meminta agar Kavindra datang ke sini. Lalu mbak Starla memanggil Kavindra untuk datang ke tempatku. Dia masuk dengan wajah yang tampak sangat pusing dan lelah.
Aku mengatakan semuanya, apa yang dokter sampaikan. Dia hanya terdiam dan membantuku berdiri. Kami duduk di kebun belakang rumah sakit ini, awalnya aku melihat mas Angkasa menangis. namun, saat dia melihatku, dengan segera dia menghapus air mata itu dan pergi ke toilet. Tinggallah kami berdua di sini, aku dan Kavindra.
Kami duduk berjauhan. Jujur, aku masih canggung jika harus dekat dengan Kavindra. Aku tidak tahu kenapa, tapi Kavindra berbeda dengan mas Angkasa. Aku bisa dengan nyaman dan dekat dengan mas Angkasa, tapi dengan Kavindra, walaupun kami sudah terbiasa tertawa bersama dan mengobrol, tetap saja aku masih merasa canggung dengannya.
Kavindra memanggilku dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Aku awalnya bertanya, untuk apa dia memintaku duduk dekat dengannya, tapi dia hanya memberi isyarat supaya aku mendekat. Akhirnya aku mendekar dan duduk di sampingnya. Terjadi sesuatu yang tidak akan pernah aku duga sebelumnya, aku berpikir hal ini tidak akan pernah terjadi. Kavindra menunjukkan sisi lain dari dirinya. Aku mendengar isak tangis keluar dari bibirnya, iya benar, tidak salah, Kavindra menangis. Awalnya aku juga berpikir kalau aku salah mendengar, ternyata tidak. Kavindra memang menangis.
Dia semakin terisak dalam tangisnya, lalu dia mengatakan suatu hal.
"Kalau terjadi sesuatu sama lu, gimana? Kalau lu makin parah, gimana? Gue gabisa lakuin sesuatu Len, gue gatau harus apa. Gue bingung Len." ujarnya dengan isak tangis yang semakin dalam.
Aku terdiam sejenak. Semakin mendengar suara isak tangis Kavindra, aku semakin larut dalam momen ini. Tanpa permisi, air jatuh ke pipiku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan tersenyum. "Aku baik-baik aja kok. Kamu tau ga, sebenarnya Allah itu sayang sama aku." ucapku. Aku melihat ke arah atas dan melihat sepasang kupu-kupu yang sangat cantik berwarna kuning. "Makanya, aku harus hadapi semua ini." lanjutku.
"Kalau Tuhan itu baik, kenapa dia ga kasih cara buat keluar dari semua ini?" tanyanya dengan nada yang benar-benar mengandung emosi.
Aku hanya bisa diam. Aku percaya, Allah punya jalannya sendiri untuk menyelamatkanku dan mengeluarkanku dari semua ini. Hanya waktunya yang belum tepat.
"Kamu lihat kupu-kupu itu? Mungkin alasan aku masih berada di sini bersamamu, duduk di bawah pohon ini untuk menyaksikan betapa indahnya ciptaan Allah yang lain. Allah masih menghiburku dengan mengirim sepasang kupu-kupu itu." jelasku.
Dia masih terdiam, tapi kali ini tangisannya mulai mereda. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak lama, mas Angkasa dan mbak Starla sudah kembali.
Mereka membawa resep obat yang harus aku tebus. Kavindra berdiri dan mengambil resep obat itu, aku mengikuti dia dari belakang. Langkahku tertatih, aku cukup susah untuk mengejar langkahnya. Dia yang menyadari bahwa aku kesulitan untuk berjalan, lantas dia berbalik badan dan menghampiriku. Lalu dia memegang pergelangan tanganku yang masih terbalut pakaian, menggandengku dan menyetarakan langkahnya denganku.
Sampai di depan lobi, dia menyuruhku untuk duduk di sini. Kavindra yang akan mengambil obat itu, dia memintaku untuk menunggunya. Setelah Kavindra masuk, air mataku turun lagi membasahi pipiku. Ada seorang anak kecil yang mendekatiku dan berusaha untuk bermain denganku. Ini cara Allah untuk membuatku bahagia lagi.
Setelah lama menunggu, Kavindra keluar dengan membawa obat di tangannya. Kami duduk lagi di bawah pohon. Entah kenapa Kavindra hari ini sangat ingin dekat denganku. Dia ingin duduk di sampingku.
Pulangnya kami di jemput oleh kepala desa dengan menggunakan mobil. Lalu, malam ini aku tidur di rumahnya Bu Mala bersama mbak Stala dan mas Angkasa.
Beberapa hari kemudian. Aku pingsan di jalan, setelah pulang dari rumah Bu Mala. Di rumah Bu Mala, kepalaku di pijat oleh seorang wanita yang sudah menjadi langganan Bu Mala. Aku di bawa di rumah kepala desa dan di baringkan di sofa yang ada di ruang tamu. Banyak orang yang mengelilingiku dan aku melihat Bu Mala ada di sampingku. Kavindra masuk dengan wajah yang pucat, dia memegang kakiku dan menakar suhu badanku. Dia juga memijat kakiku.
Aku segera di bawa ke rumah sakit untuk di rawat. Kavindra yang membawaku ala bridal style menuju mobil. Semua orang melihat kami berdua. Kavindra dengan sigap menggendongku di pelukannya.
Mobil melaju menuju rumah sakit. Aku di suntik obat pereda nyeri lagi, setelah menunggu 2 jam dan tidak kunjung mereda, mereka lalu menginfusku. Citra tanpa seizinku membuka teleponku yang aku dititipkan di Bu Mala. Aku sangat marah kepadanya, tapi aku terlalu malas untuk membahas hal ini.
Aku di rawat beberapa hari di sini. Aku melakukan pemeriksaan CT Scan untuk kedua kalinya. Hasil CT Scan menunjukkan jika aku sehat dan tidak ada sakit apa pun. Tetapi kepalaku sangat sakit. Beberapa hari aku selalu di suntik obat, dan aku tidur sangat lama di rumah sakit ini. Tidurku nyenyak dan dalam jangka waktu yang lama.
Beberapa hari sebelumnya, pasien di sampingku meninggal dunia. Aku yang berbaring sendirian di ranjang, sangat takut mendengar saat nyawa pasien sebelah di ambil. Suaranya menggelegar dan sungguh mengerikan, sekujur badanku merinding. Untung saja selang beberapa waktu, mbak Starla datang. Aku mulai tenang sekarang.
Esok harinya, Kavindra datang menjengukku. Aku berbicara dua mata dengannya.
"Bagiku kau itu tidak menjadi beban, aku masih sanggup untuk merawatmu. Namun, tidak bagi teman kita. Kau akan di anggap beban jika terus begini." Ucapan itu terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Kavindra lalu duduk di tempat tidurku. Dia bercanda denganku, lalu dia memutar tanganku, jujur ini terasa sangat sakit. Ibuku datang ke rumah sakit ini dan akan membawaku pulang. Dia terkejut melihat Kavindra yang sedang memutar tanganku, ibu langsung menghampiri Kavindra dan memukulnya berulang kali. Kavindra hanya diam saja, keluargaku yang lain mulai melerai mereka berdua. Aku hanya bisa menatap mereka, aku sangat mengantuk. Untuk berbicara saja aku sudah tidak kuat.
Sebelumnya, aku diminta untuk berobat ke dokter jiwa yang ada di rumah sakit ini. Dokter saraf mengatakan kalau aku sehat, hanya saja aku harus pergi ke dokter jiwa, mungkin ini berkaitan dengan mentalku.
Aku menutup rapat mengenai masalah ini. Aku tidak ingin ibuku semakin khawatir terhadapku. Aku membereskan semua barang bawaanku. Di luar aku mendengar kalau Kavindra berulang kali meminta maaf pada ibu dan keluargaku. Itulah sebabnya ibu bertanya padaku. apa yang telah dilakukan Kavindra terhadapku, sehingga dia berulang kali meminta maaf. Aku tidak memberitahukan apa pun mengenai Kavindra, selain kejadian yang ibu lihat di rumah sakit waktu itu.
Sebelum aku masuk mobil, Kavindra mengatakan agar aku berhati-hati di jalan. Selama perjalanan ternyata Kavindra telah mengambil keputusan secara sepihak. Dia membubarkan divisi yang aku pegang. Aku segera meneleponnya dan berdebat dengannya. Mba Starla mengatakan kalau mereka semua berkata yang tidak baik terhadap kelompokku.
Mereka mengatakan kalau kinerja kami tidak becus dan mengatakan hal yang tidak enak lainnya. Aku menyadarinya, dan tidak masalah jika mereka mengatakan itu, tapi yang aku tidak suka yaitu penggunaan bahasa yang menurutku kurang pantas. Mbak Starla juga mengirim beberapa pesan padaku.