Esok harinya Aku terbangun dengan perasaan yang tidak enak, semalam aku bertengkar dengan dia. Sekarang aku sangat takut untuk bertemu dengannya, tapi bagaimanapun juga aku harus menemuinya dan meminta maaf atas kelancanganku.
Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengannya. Aku berjalan ke dapur tapi aku tidak menemukannya. Aku sudah mencari ke seluruh rumah, tapi aku juga tidak menemukannya. Aku sangat khawatir sekali, di mana aku harus mencarinya, ke mana dia pergi?
Karena aku tidak tahu harus mencarinya di mana, akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya di sofa dan menyiapkan makanan untuknya, aku berpikir dia mungkin akan memaafkanku. Karena aku banyak mendengar kalau orang marah pasti lapar. Itulah sebabnya aku akan memasak makanan yang banyak untuknya. Setelah lama sekali aku menunggunya akhirnya aku ketiduran Juga.
Jam menunjukkan pukul 9 malam, tetapi dia masih belum pulang juga. Makanan yang aku buat pun sudah dingin. Bahkan aku juga belum sempat untuk makan. Aku berencana untuk menunggunya dan makan bersama dengannya. Akhirnya aku menyerah, sudah larut malam dan dia belum juga pulang, aku beranjak menuju tempat tidurku, aku menaruh semua makanan itu di meja makan dan menutupnya. Agar saat dia kembali dia langsung bisa memakan makanan yang kubuat.
Saat aku berjalan menuju tempat tidur, aku tidak sengaja melihat pintu kamarnya terbuka. Betapa terkejutnya aku, aku melihat dia sedang tidur dikamarnya. Sejak kapan dia masuk ke dalam rumah, padahal sebelumnya aku memeriksa kamarnya, tapi aku tidak menemukannya.
Dengan perasaan kesal aku menghampirinya yang sedang berbaring di kasur.
“Heyyy...Kenapa kamu lakukan ini padaku?” ucapku sambil menggoyangkan tubuhnya.
Dia terbangun dan duduk sambil terdiam melihat ke arahku.
“Apa kamu tahu, aku sangat khawatir, aku takut terjadi sesuatu padamu. Aku menunggumu selama berjam-jam sambil berpikir kamu akan segera kembali, tapi ternyata tidak, kamu tidak juga kembali, sampai aku ketiduran karena lelah menunggumu. Tapi kamu tidak memedulikanku. Percuma aku memasak makanan untukmu, dan bodohnya lagi aku belum makan dari pagi hanya untukmu. Aku ingin makan bersamamu, aku tahu aku salah semalam, oleh sebab itu aku melakukan ini. Aku ingin meminta maaf padamu.” ucapku.
“Aku tidak peduli.” ucapnya sambil menutup mata.
“Apa?? Kamu tidak peduli. Sekarang aku tahu, bukan hanya sikapmu saja yang dingin, tetapi hatimu juga. Pantas saja kamu hidup sendiri di sini, karena tidak ada orang yang mau tinggal dengan hati yang kaku seperti kamu.” Aku berusaha menahan air mataku.
Aku pergi meninggalkannya. Hatiku sedih, aku tidak bisa tinggal di sini bersama orang seperti itu. Aku harus pergi dari sini. Aku membawa barang milikku dan aku berjalan keluar dari rumah ini. Sebenarnya aku sangat takut, apalagi ini sudah larut malam, dan aku tidak tahu ke mana tujuanku. Tapi kalau aku terus berada di sini aku hanya akan merepotkannya dan hatiku juga akan sedih.
Dengan tekat yang kuat aku menginjakkan kakiku keluar dari rumah ini. Aku berjalan tanpa arah, semakin jauh semakin aku bingung. Saat ini aku sudah jauh sekali dari rumah itu, dan aku sangat takut. Aku bergegas kembali melangkah menuju ke rumah itu saat aku mendengar suara hewan buas. Tapi aku tidak bisa menemukan jalan untuk kembali, bahkan untuk keluar dari sini. Aku tersesat. Suara hewan itu semakin dekat dan.....
Aku pingsan.
Setetes air mata jatuh ke pipiku yang membuatku tersadar. Aku terkejut setelah aku tahu sekarang Adit sedang menggendongku sambil meneteskan air mata.
“Kenapa kamu menangis?” tanyaku padanya.
Dia hanya melihatku dan tidak mengatakan apa pun. Tanpa aku sadari aku juga meneteskan air mataku. Aku terharu melihat dia menangis dan aku juga kesal sekaligus senang karena seseorang yang telah menyuruhku pergi akhirnya datang lagi untuk menjemputku.
“Aku sangat takut, aku pikir aku akan tiada hari ini. Suara singa itu sangat menyeramkan, suara itu semakin mendekat padaku. Itulah sebabnya aku pingsan. Aku pikir setelah aku sadar nanti aku akan berada di perut singa itu atau menemui Allah. Tetapi untungnya setelah aku sadar aku sudah berada di dekatmu dan itu membuatku merasa nyaman.”
Dia hanya diam saja mendengarku bicara. Aku terus bicara padanya sepanjang jalan.
“Kita sudah sampai.” Dia meletakkanku di sofa.
“Aku akan mengobati lukamu.”
“Awwhh, pelan-pelan.”
“Tahan.” ucapnya dengan lembut.
“Kenapa kamu menyelamatkanku? Bukankah kamu sendiri yang mengusirku dari sini.” ucapku dengan kesal.
“Ada pertanyaan yang tidak bisa mendapatkan jawaban.” ucapnya dengan suara lembut.
Aneh sekali dia bersikap lembut padaku, padahal tadi dia bersikap kasar padaku.
“Tetapi semua pertanyaan pasti memiliki jawaban. Baiklah jika kamu tidak mau menjawab pertanyaanku aku juga tidak akan memaksamu.”
Dia hanya tersenyum padaku.
“Thanks ya.”
“Hmm, a-aku minta maaf.” ucapnya dengan lirih
Aku heran baru kali ini Adit meminta maaf padaku. Suaranya pun begitu lembut.
“Apa katamu?” tanyaku. Aku berpura-pura tidak mendengarnya agar dia mengatakannya lebih keras.
“Hahhh, aku minta maaf.” ucapnya dengan agak keras.
“Oh iya, aku maafin kok, tapi aku masih marah sama kamu.”
“iya kamu boleh kok marah sama aku, aku seharusnya tidak bersikap seperti itu padamu.”
“Aku juga minta maaf harusnya aku tidak bicara dengan nada tinggi padamu. Aku hanya khawatir, aku takut terjadi sesuatu padamu.”
Dia hanya diam saja melihatku.
“Oh ya kamu bilang kamu sudah menyiapkan makanan kan?”
“Iyaa, aku menaruhnya di laci.” kataku.
“Baiklah aku akan menghangatkannya.”
Aku sangat bersyukur karena aku selamat, tapi aku juga heran kenapa Adit menangis saat menemukanku, apakah dia sangat merasa bersalah. Di satu sisi dia selalu menyeramkan tapi disisi lain dia juga orang yang lembut. Aku yakin bahwa dia bukanlah orang jahat.
“Makanan sudah siap. Aku akan mencoba masakanmu.”
“Apakah enak?” tanyaku.
“Rasanya lumayan enak.” ucapnya.
“Syukurlah, oh ya Adit, bagaimana kalau sekarang kita berteman? kita lupakan semua yang telah terjadi dan memulai dengan yang baru.” ucapku bersemangat.
“Baiklah kita berteman sekarang.” Kami berjabat tangan dan sepakat untuk menjadi teman. Aku harap tidak akan terjadi masalah lagi di antara kami berdua.
Setelah kejadian itu, hubungan aku dengan Adit semakin membaik. Adit yang semula bersikap dingin dan mudah terpancing emosi, sekarang dia mulai bersikap lembut padaku. Aku senang atas perubahan sikapnya itu, dan aku tahu bahwa harusnya aku tidak menilai seseorang dari tampilannya saja.
Mungkin dia bersikap dingin seperti itu karena kita belum saling kenal atau mungkin dia pernah mengalami kejadian yang membuat dia bersikap dingin terhadap orang lain. Tetapi setelah aku mulai mengenalnya aku merasa nyaman dengannya. Malam ini Adit mengajakku duduk bersama di ayunan yang ada di teras sambil memandang rembulan yang sangat indah.
“Adit, kita kan belum pernah berkenalan sejak aku pertama kali datang ke sini. Bagaimana kalau kita berkenalan sekarang? Tak kenal maka tak sayang hehe.” ucapku sambil tertawa.
“Boleh.” ucap Adit.
“Kalau begitu perkenalkan dirimu, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu.”
“Namaku Aditiya Syarifuddin. Aku keturunan Jawa dan Sunda, aku suka bermain alat musik dan menyanyi. Ibuku orang Jawa asli, sedangkan ayahku orang Sunda.”
“Oh ya, berarti kamu blasteran dong?"
"Iyaa hehe. Oh ya, bolehkah aku memanggilmu Meili?”
“Boleh aja, lagian itu panggilan yang bagus. Tapi kenapa kamu ingin memanggilku Meili?”
“Agar aku beda aja dari yang lain. Biar nanti kamu bisa mudah mengingatku.”
"Baiklah terserah kamu saja. Oh ya tadi kamu bilang suka menyanyi, kalau begitu nyanyikan untukku sebuah lagu.”
“Lagu apa?”
“Apa pun itu aku akan mendengarkannya.”
“Baiklah aku akan bernyanyi untukmu, tapi hanya potongan dari laguku saja ya.”
"Baiklah tidak masalah untukku, silahkan."
Di malam ini, aku duduk di sini sambil memandang sang rembulan,
aku pikir aku akan berada terus dalam kegelapan,
sampai tuhan mengirimkan seseorang yang ku pun tak tahu siapa,
dia membuatku nyaman disisinya, membuatku selalu khawatir,
aku tak pernah seperti ini sebelumnya,
aku harap tuhan tidak pernah mengambil dia dariku.
“Wahhhh, enak sekali lagu itu, suaramu pun sangat bagus, apa kamu yang membuat lagu itu sendiri?”
“Apakah lagunya sebagus itu?” tanya dia.
“Iya, lagu itu bagus sekali, bahkan aku sampai ingin terus mendengarnya. Apakah boleh lain kali nyanyikan lagu itu secara full?”
“Syukurlah kalau kamu suka. Lagu ini aku ciptakan sendiri, baiklah lain kali aku akan nyanyikan secara full untukmu.” ucapnya sambil tersenyum.
“Sungguh?”
"Iya."
"Btw, siapa yang menjadi inspirasimu dalam membuat lagu itu?" tanyaku.
"Dia seorang gadis yang manis, dia memiliki senyum yang indah, saat orang melihatnya pasti akan mengagumi senyumnya. Entah mengapa saat melihat gadis itu aku ingin sekali membuat lagu untuknya.” ucapnya sambil tersenyum.
Sebelumnya aku tidak pernah melihat dia tersenyum seperti ini. Senyum yang sangat tulus, dia seperti sangat merindukan seseorang. Tetapi kenapa aku merasa senyumnya ini sangat tidak asing untukku, aku seperti pernah melihat dia, tapi entah aku tidak ingat apa pun. Ah sudahlah mungkin ini hanya perasaanku saja.
“Ohh... jadi kamu membuat lagu ini untuk seorang gadis?” ucapku sambil tersenyum.
“Memangnya kenapa?”
“Ternyata orang aneh ini bisa romantis juga ya haha,”
“Kamu memanggilku orang aneh?”