Langit masih bersahabat. Dengan gumpalan putih seperti kapas berjalan pelan mengikuti sang angin yang berhembus. Burung-burung berenang diangkasa, menikmati padatnya kota di bawahnya tanpa tau permasalah apa saja yang ada di dalamnya.
“Iya, Pak! Maaf, Pak!” ucap laki-laki itu berulang kali sambil berjalan tertatih-tatih di koridor sekolah, “Iya maaf ... aduh, Pak.” ucapnya lagi sambil memegang teliganya yang sejak tadi ditarik sang Pak Guru.
“Anak kurang ajar kamu, sekolah di mana kamu? Nggak pernah diajarin sopan santun?” gerutu sang guru berpeci hitam tanpa melepas jeweran.
“Sekolah di sini, Pak. Alala...” jawabnya dengan polos.
“Berdiri kamu di sini! Sampai jam istirahat selesai. Ngerti?”
Siswa yang dihukum itu mengangguk.
“Kenapa baju kamu kusut? Ibumu nggak nyetrikain?”
Kali ini yang ditanya menggeleng.
“Buka seragamnya! Sini biar saya yang setrikain.”
Siswa itu menurut. Membuka kancing kemeja sekolahnya satu persatu. Sambil menggerutu di dalam hatinya. Lalu memberikan segaram kusut kepada sang guru tersebut.
“Tangan kanan kamu jewer kuping kiri! Itu kaki lurusin! Berdiri tegap! Gimana, sih!”
“Iya, Pak.” Jawabnya sambil membenarkan posisi berdirinya.
Guru bernama Ahmad itu segera meninggalkan lapangan dan membiarkan sang pemilik baju yang akan ia setrika berdiri di bawah tiang bendera.
Dalam hatinya, siswa yang dihukum itu bersyukur mengkunakan kaus dalam, setidaknya ia tidak terlalu dipermalukan oleh sang guru rese. Beberapa siswa berlalu-lalang di hadapannya sambil berbisik maupun tertawa melihat tontonan yang sangat jarang ini. Bahkan ada beberapa siswa dengan sengaja mengajak teman-temannya yang lain untuk melihat siswa yang tidak mengenakan seragam di tengah lapangan. Bukan Eksa namanya, jika ia acuh pada hal itu, buktinya ia tetap cuek dengan gelak tawa yang begitu terdegar di telinganya. Ia malah sibuk tersenyum pada siswi-siswi yang lewat di depannya, bahkan menggodanya dengan kedipan maut.
Kelas hening, semua kepala tertunduk dan terfokus pada secarik kertas di meja mereka masing-masing. Ada yang sedang berfikir keras, ada yang tengah mengarang jawaban, ada yang tengah sibuk dengan buku di kolong meja, ada yang tengah berdoa menunggu mukzizat dari Tuhan agar mendapat jawaban atas sulitnya soal ulangan dadakan pagi ini.
Susan celingak-celinguk mengamati keadaan kelas, semua sibuk dengan usahanya sendiri, ia menghembuskan nafas dengan pasrah, wajah bulat itu mulai gelisah, dilihat sangguru sedang sibuk dengan ponsel.
“Jang? Ujang?” panggilnya sambil mencolek siswa di depannya. Laki-laki yang ia colek menoleh. “Nomor tiga jawabannya apa?” tanya Susan dengan berbisik.
“Bentar.” Ujang kembali berbalik.
Raut wajahnya semakin bingung, dilihatnya Inka yang begitu serius. Diintipnya kertas putih yang sudah mulai terisi setegah lembar, dilihatnya lagi kertas miliknya, baru hanya ada beberapa kata, ia kembali melihat kertas milik Inka, dengan susah payah Susan tidak mendapat celah untuk membaca tulisannya, tertutup dengan rambut yang terurai. Susan kembali menghembuskan kembali nafas dengan pasrah.
Susan mecolek perempuan di sampingnya, “Ka, Inka liat dong.” Pintanya memelas. “Ka?”
“San? Ngapain?” tanya sang guru yang ternyata sudah berdiri lima langkah di dekatnya.
“Iya, Bu.” Jawab Susan sambil segera berpura-pura menjawab soal yang belum ia selesaikan. Raut wajahnya makin panik.
Sialan. Batinnya kesal.
Inka mendengakan kepala, melihat keadaan yang masih sama, semuanya masih tertunduk dengan soal masing-masing. Dengan wajah tenang dan datar, ia berdiri dan menghampiri sang guru untuk menyerahkan lembar jawabannya.
“Yuk, kalau yang sudah kumpulkan.” Kata itu seolah cambuk untuk segera menyelesaikan jawaban, serta sebuah setrum yang membuat detak jantung mereka berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.
“Mampus.” Sumpah yang terlontar dari bibir Susan. Tangannya semakin lincah menulis jawaban karanganya.
Inka kembali ketempat duduknya dengan santai.
“Nomer berapa yang belum?” bisiknya pelan.
“Semua.” jawab singkat Susan tanpa memperlambat kecepatannya menulis jawaban yang ada di kepalanya.
Inka mengintip jawaban Susan. Dengan cepat ia memberi tahu jawaban yang benar. Susan segera menuruti semua jawaban yang diucapkan Inka, semua jawaban yang ia tulis sudah dicoret begitu saja. Gerak tangan Susan semakin cepat menulis jawaban, terlebih lagi beberapa anak sudah mulai berhamburan keluar karena sudah mengumpulkn jawaban.
Tepat waktu. Saat guru memperingatkan Inka untuk segera keluar, Susan sudah selesai menjawab soal tersebut.
Inka segera keluar kelas, menunggu Susan di balkon depan kelas. Dengan senyum yang mengembang, serta percaya diri yang tinggi, Susan melangkah menuju meja guru, tapi sayangnya baru beberapa langkah, ia dicegat oleh Ujang.
“Liat dulu sebentar.” Ucapnya sambil merebut lembar jawaban dari tangan Susan.