Tepat pukul sepuluh, seluruh kegiatan belajar kelas duabelas usai, sebab, jam selanjutnya akan dilanjutkan dengan rapat antar guru dan wali murid yang akan membahas tentang kelulusan yang hanya terhitung tinggal beberapa bulan lagi. Parkiran sekolah mulai penuh dengan kendaraan yang dibawa oleh para wali murid. Sebagian siswa begitu antusias menyambut orang tuanya masing-masing di lobi sekolah, ada beberapa siswa yang melakukan hal itu untuk mengenalkan orang tua mereka dengan sang pacar. Bahkan ada yang langsung mempertemukan kedua orang tua mereka masing-masing yang akhirnya makan bersama di kantin sambil menunggu rapatnya dimulai.
“Emak lu datang, Man?” tanya Ujang yang dari tadi hanya diam mengamati orang tua murid yang berlalu-lalang di lobi.
“Nggak, nyokap kerja, katanya kalau sempet nyusul.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya. “Emak lu mana, Jang?”
“Nggak tau, nih. Katanya udah turun dari angkot. Tapi belum keliatan.”
“Coba telepon, Jang.” Saran Armand yang kini menatap wajah Ujang.
Ujang mengikuti kata Armand. Ujang langsung menghubungi orangtuanya.
“Jang! Ujang di mana? Emak dari tadi nunggu Ujang ini ih di Gerbang!”
“Ih Emak, Emak nggak baca pesan dari Ujang? Kan Ujang tadi bilang, masuk aja, Mak, nanti Ujang tunggu Emak di lobi.”
“Yeuh si Ujang nyak. Masuk aja nih ke lobi?”
“Iya, Mak.” Jawab Ujang pasrah.
“Euh, meuni riweh, kudunamah Abah maneh da nu kadie, Jang.” Gerutu wanita berhijab panjang itu sambil memutuskan sambungan telepon dari anak terakhirnya. Wanita paruh baya itu berjalan beriringan dengan orang tua murid lainnya menuju lobi sekolah yang memang letaknya lumayan jauh dari gerbang sekolah.
Mata Ujang terus mengawasi setiap orang yang memasuki kawasan lobi, rata-rata mereka berhenti di lobi karena harus mengisi daftar hadir di meja resepsionis. Mata Ujang menangkap ibunya yang berjalan memasuki lobi, beliau juga sama, mencari anaknya.
“Emak!?” panggil Ujang melengking sambil melambaikan tangan kanannya. Ibunya menoleh, dan segera menghampiri Ujang. Ujang segera meminta ibunya untuk mengisi daftar hadir. Meja daftar hadir kelasnya kini dipegang oleh Inka dan Susan.
Susan, Inka dan beberapa murid kelasnya yang kebetulan menunggu orang tua atau iseng hanya ingin mengetahui orang tua temannya langsung menyambut siapa saja yang mengisi daftar hadir rapat. Ada beberapa yang tidak bisa hadir, dan digantikan oleh kakaknya atau bibinya bahkan neneknya.
Tepat pukul satu siang, rapat dimulai di aula sekolah. Susan mengecek berapa orangtua yang tidak datang rapat. Ada tiga, yaitu Armand, Eksa dan Inka.
“Ka?” panggil Susan pelan.
“Hm?” respon Inka tanpa menunda kerjaannya, ia sedang merapikan meja resepsionis yang penuh dengan kertas.
“Lu ngasih undangannya ‘kan?” tanya Susan dengan penuh kehati-hatian.
Tangannya berhenti merapikan kertas, Susan menahan nafasnya, ia sudah siap jikalau Inka akan marah lagi seperti tempo hari. Inka melirik Susan.
“Permisi? Benar ini tempat isi daftar hadir kelas duabelas-dua?” tanya seorang ibu-ibu berpakaian rapi dengan tas yang terlihat mahal.
“Iya, betul Bu, silahkan tandatangan.” Ucap Inka tak berekspresi.
“Oh, sudah datang semua, ya? Padahal saya sudah berusaha keras supaya datang cepat. Apa sudah mulai rapatnya?” tanya beliau sambil tanda tangan di kolum nama Armand.
“Oh, Tante bundanya Armand, hallo Tante, aku Susan.” Sambar Susan yang langsung bersalaman tanpa menjawab pertanyaan tadi.
“Oh, iya, Susan. Saya langsung masuk aula, ya. Telat saya. Permisi.” Ucapnya dengan buru-buru.
“Iya, Tante.”