Faisal terdiam di depan sebuah ruko yang berada tepat di sisi jalan. Dia mengamati bangunan itu sambil menyesap kopi hangatnya di pagi hari. Hampir setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia akan selalu berada di depan kawasan ruko yang tidak terlalu ramai itu sembari termenung. Dia tersenyum setiap melihatnya, Faisal ingin sekali bisa menempati ruko tersebut dan membuatnya sebagai studio rekaman atau tempat les.
Menundukkan wajahnya muram, dia bebalik kembali melangkah menuju kantor tempatnya bekerja. Faisal bekerja di label rekaman sebuah perusahaan yang lumayan besar, jaraknya sekitar tiga puluh menit dari ruko yang ia sembangi tadi. Perusahaan tempatnya bekerja bukan perusahaan baru, mereka banyak menelurkan berbagai lagu dan artis baru, orang-orang jika mendengarnya pasti tahu lagu itu.
Bekerja sebagai sound engineer bukanlah hal yang mudah, semakin hari musik di Indonesia ini semakin mundur dan monoton, tidak bervariasi. Faisal yang sekarang berumur tiga puluh dua tahun mulai bosan dengan rutinitas yang ia jalani. Waktu muda antusias dan gairahnya begitu membara, dan kebetulan musik saat itu tidak semundur sekarang, sekitar tahun 2012. Dia akan dengan mudah menyatukan berbagai nada lagu sehingga membuatnya enak didengar dan berkualitas.
Saat itu musisi yang bekerja pun penuh dengan idealisme, walau tidak sebaik di awal tahun 2000an tapi paling tidak semangatnya tidak pernah pudar. Dia akan datang ke kantor setiap pagi dengan bersemangat. Jauh berbeda dengan sekarang, musik yang ia buat hanya sekedarnya saja. Tidak ada arti dan tidak menyentuh. Tiap kali pulang, dirumahnya Faisal selalu mendengarkan lagu-lagu nostalgia di awal tahun 2000. Dewa 19, Peterpan, Ruth Sahanaya, Chrisye dan lain-lain.
Sekarang di depannya pun ada seorang artis yang sedang melakukan rekaman. Suranya bahkan tidak terlalu bagus, hanya modal tampang. Kemampuan bermusiknya apalagi, fiuh jenis suaranya saja dia tidak tahu Alto atau Sopran. Kebetulan dia seoarang wanita. Kalau jenis suaranya saja tidak tahu apalagi membaca nada.
"Bagus Naya, rekamannya sudah rampung. Suaramu luar biasa." Ucap Toni, manajer label rekaman di sana yang konon katanya adalah pacar si penyanyi.
"Bungkus ya Pak, kalau gitu saya pulang dulu. Mau bersih-bersih." Ucap Naya dengan nada manjanya.
Faisal yang berada di sebrang menggerakan bibirnya mencibir, rasanya ingin muntah mendengar omongan manja wanita seperti itu.
"Loh buru-buru amat. Makan siang dulu lah. Yuk." Ajak Toni,
Naya dengan gaya pura-pura menolak dan bahasa tubuh manja terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dengan genit menerima ajakan Toni.
"Kita mau kemana Pak?" Tanya Naya sambil menggandeng lengan Toni dan keluar dari studio tersebut.
"Rasanya gue mau muntah." Ucap Faisal menoleh ke arah Nando yang sekarang sedang memegang gitarnya.
"Bulu kuduk gue sampai merinding." Sahut Nando.
Mereka kemudian saling bertukar pandang satu sama lain, senyum terukir dari bibir manis mereka. Dengan alis yang menaik, Faisal bergegas mengambil gitar dan masuk ke dalam studio. Dia bersama Nando mulai memainkan gitar mereka dengan piawai. Faisal bermain gitar sambil membawakan lagu (Sobat – Padi). Mereka begitu antusias dan sengaja memainkan gitar penuh semangat, mengobati kehausan jiwa mereka akan musik.
****
Di sebuah SMA di Jakarta, Anggun seorang diri berdiri di depan kelas. Dia menatap semua temannya gugup, lebih tepatnya orang yang ia kenal. Dia tidak memiliki banyak teman di kelas, teman karibnya hanya Lala yang merupakan teman sebangkunya juga. Bu Hesti, guru kesenian menyuruh murid-muridnya untuk maju ke depan dan menyanyikan lagu apapun yang diingikan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Anggun, dengan percaya diri dia membawakan lagu (Ayat-Ayat Cinta-Rossa).
Anggun membawakannya begitu dalam, memejamkan mata sambil meletekkan tangannya di dada. Semua orang tercengang mendengar suaranya, mereka semua tersentuh. Hesti tidak berkedip melihat penampilan Anggun di depan kelas, dia begitu menakjupkan. Kemampuan sebaik ini sayang sekali jika tidak dimanfaatkan. Mencapai klimaks lagu, suara tinggi Anggun mampu melewatinya dengan baik. Sepertinya dia tidak terlihat kesulitan sama sekali.
Membuka matanya puas dengan apa yang ia tampilkan, Anggun tersenyum bahagia. Dia lalu menoleh pada bocah laki-laki yang ada di depannya, Aldi yang tengah menatapnya dengan mata penuh kekaguman. Sejak memasuki bangku SMA, Anggun yang melihat Aldi untuk pertama kalinya langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Aldi begitu manis, otaknya tidak bisa berhenti memikirkan bocah lelaki itu.
Krrinnngggg.....
Bel istirahat berbunyi. Menandakan bahwa pelajaran kesenian telah usai dan waktunya para murid untuk beristirahat. Anggun berjalan menuju kantin untuk membeli camilan, ada es dan gorengan yang biasa ia beli. Memegang satu kantong plastik es, tiba-tiba saja tubuh Anggun ditabrak oleh seseorang dengan lumayan keras hingga esnya jatuh dan mengenai seragam sekolahnya.
"Iuh, lihat tuh seragamnya kotor kena es. Bau." Ucap Diana dengan sinis. Dia bersama dua orang temannya, Sasha dan Desi menatap sombong ke arah Anggun. Mereka bertiga merupakan siswi popular kaya di sekolah, banyak laki-laki yang tergila-gila dan mengejar mereka. Sedangkan Anggun hanya anak dari keluarga biasa yang mencoba mengejar impiannya sebagai penyanyi.
Anggun menaikkan kepalanya menatap Diana tidak mau kalah, lembut namun dengan percaya diri, "Nodanya tidak akan hilang, kamu harus tanggung jawab." Tutur Anggun
"Apa lo bilang? Tanggung jawab?" Sahut Sasha kemudian menoleh ke arah dua temannya yang diikuti tawa keras oleh Diana dan Desi.