Hesti tersengal-sengal menghampiri Faisal, dia langsung duduk dan menenggak kopi pesanan Faisal dengan cepat.
"Ibu satu ini pekerja keras sekali ya." Ledek Faisal yang melihat wajah Hesti penat.
"Sorry gue telat, tadi rapatnya nggak kelar-kelar."
"Lo mau ngomong apa?" Tanya Faisal penasaran.
"Ah, iya hampir saja lupa. Kemarin gue ngasih tugas ke anak-anak untuk nyanyi lagu apa saja yang mereka mau. Dan gue terpukau sama salah satu murid gue. Nyanyinya bagus banget Sal, penjiwaannya luar biasa untuk ukuran anak SMA."
"Benarkah?" Faisal kemudian mengangguk sembari berpikir, "Sepertinya cocok." Lanjutnya
"Cocok apa?"
"Ah, nggak. Nggak apa-apa." Tutur Faisal masih menyembunyikan rencananya.
"Lo tumben udah pulang kerja."
"Huft, gue mengundurkan diri."
"Apa?" Seketika Hesti terbelalak tak percaya, dia bekerja sudah delapan tahun bagaimana dia bisa mengundurkan diri. "Kenapa?"
Faisal lalu menyondongkan tubuhnya ke depan sambil menatap Hesti dengan antusias, "Gue punya rencana. Gue akan pinjam uang ke bank dan sewa ruko itu."
"Hah," Sekarang Hesti menyilangkan tangan dan kakinya, "Terus mau lo jadiin apa?" Tanyanya
"Studio dan tempat les musik."
Hesti langsung menghela napasnya berat, "Sal bukannya gue..."
"Stop. Gue tahu apa yang akan lo omongin. Cuma gue udah lama pengen banget punya kesempatan ini. Dan ini waktunya, gue akan melangkah di jalan gue sendiri."
Hesti tersenyum bangga mendengarnya, "Gue mau ngomong kalau gue dukung apa yang lo lakuin." Ucapnya sambil menatap Faisal bangga.
"Kalau gitu temenin gue ke Bank." Tandas Faisal.
"Sekarang?"
"Iya sekarang."
Mereka dengan cepat berdiri dan berjalan menuju Bank tersebut.
****
Di sebuah SMA swasta lainnya, Utari sedang melakukan latihan paduan suara dengan teman-temanya. Mereka biasa melakukan latihan rutin, jadi ketika sewaktu-waktu ada acara, mereka bisa dengan cepat mengerti. Berbaris dengan rapih, dinyalakanlah sebuah lagu untuk latihan mereka (Bahasa Cinta-Broery Marantika feat. Vina Panduwinata).
Intro dimulai dan mereka mulai menjentikkan jari bergerak ke kanan dan ke kiri sambil menyanyikan lagu. Utari yang memimpin paduan suara itu berusaha untuk menyatukan suara mereka, Namun ternyata tidak semudah yang dibayangkan, suara mereka pecah dan tidak menyatu. Suara dua kadang melebihi suara satu. Belum lagi lirik yang masih berantakan.
"Berhenti." Ucap Tari, panggilan sapaannya. "Ulang dari awal, suara dua mohon turunkan nadanya ya. Sekali lagi." Pinta Tari.
Mereka kemudian kembali dari awal lagi, suara Tari yang tinggi dan tebal sangat memukau. Suaranya melengking bagai Elang, nada tinggi semua ia lahap. Tipe suara dia hampir mirip dengan Beyonce, kuat dan tebal. Akhirnya setelah melakukan beberapa kali latihan, mereka bisa juga menyatukan suara. Usahanya tidak sia-sia.
Tersenyum dengan lebar, Tari bangga dengan timnya. "Besok latihan lagi ya," Ucapnya.
"Kak, suara kita habis kalau harus tiap hari latihan. Istirahat dulu ya Kak. Kita lelah." Ucap Rasya yang tenggorokan kering sekali.
"Tapi..." Tari menolak untuk istirahat.
"Iya kak, kita sudah latihan berbulan-bulan namun tampil saja tidak. Berikan kami jeda kak."
Tari menghela napasnya, "Baiklah kita latihan lagi minggu depan."
Mereka semua lalu tersenyum bahagia sebelum keluar dari ruangan, kecuali Tari.
Tari terduduk lelah di kursi, dia berusaha untuk mempertahankan paduan suara ini dengan semua yang ia miliki. Sejak setahun lalu saat dia bergabung, paduan suara itu sungguh berantakan. Dia dan kakak kelasnya waktu itu akhirnya berusaha untuk membangkitkan ekstrakulikuler tersebut. Awalnya cukup berhasil namun saat kakak kelasnya lulus, paduan suara itu kembali berantakan di bawah naungannya. Dia kecewa pada dirinya sendiri.
****
Setelah berhasil meminjam uang, Faisal langsung menyewa ruko yang ia impikan dan membeli semua peralatan dengan uangnya sendiri. Dia sangat tidak sabar untuk mewujudkan impiannya, walau bukan dia yang akan mebawakan lagu-lagu tersebut, tapi paling tidak dia bisa membuat generasi-generasi baru yang bersemangat dalam bermusik.
Membereskan semua yang diperlukan, dia kemudian kembali menghubungi Hesti.
"Hei, siapa nama anak yang kamu bilang waktu itu?"
"Oh, Anggun."