Tari berjalan membeli soda di minimarket, kepalanya pusing dan dia butuh penyegaran. Saat ingin membayar di kasir, tiba-tiba sebuah tangan menyerobot minuman miliknya. Tari terhentak dan menatap orang tersebut.
"Masih suka minum soda?" Ucap lelaki yang berdiri di sampingnya menjulang tinggi dengan kaleng soda yang baru saja ia rampas.
"Balikin." Ujar Tari.
"Coba saja kalau bisa." Tantang Sandi yang menggantungkan minuman tersebut tinggi-tinggi hingga Tari melompat-lompat berusaha mengambilnya.
"Ih, balikin nggak." Tari mulai kesal.
"Kamu manis kalau marah." Ucapnya lalu memberikan minuman tersebut.
Tari menyunggingkan bibirnya sebal, setelah selesai dari kasir. Sandi mengikuti kemana langkah Tari pergi.
Tari yang tidak nyaman akhirnya menghela napas kemudian berhenti dan langsung berbalik. "Mau ngapain sih ngikutin terus? Gue nggak punya apa-apa. Nggak punya emas, duit pun pas-pasan. Nggak ada gunanya lo ngikutin gue."
Sandi tertawa terbahak-bahak, dia lalu mendekati Tari perlahan dan menatap matanya, "Nggak ada yang lo mau tanya ke gue?"
Tari mengerutkan dahinya menggelengkan kepala, dia tidak mau lagi membahas masa lalu, "Gue sudah nggak peduli, lo mau dimana. Lo mau ngapain. Terserah."
"Benarkah? Tapi sepertinya lo nggak bisa move on dari gue."
"Jangan ngaco, gue udah move on sama lo dari kapan tahu."
"Lo mau ikut Indonesia Choir Competition kan?" Tanya Sandi.
Tari seketika menatap Sandi heran, apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki ini. Sandi lalu mengelilingi Tari dengan perlahan sambil bernyanyi (Jika-Melly Goeslaw feat Ari Lasso). Mendengar bait pertama, Tari tersenyum tipis. Lelaki di depannya ini memang penggoda ulung. Dia lalu mengabaikannya dan terus berjalan. Tapi Sandi tidak hilang akal, dia tahu kalau Tari tidak akan menolak jika diajak bernyanyi. Dengan terus mengikuti dan menggodanya, akhirnya Tari pun ikut tergoda untuk bernyanyi bait seterusnya.
Tatapan Sandi saat bernyanyi begitu dalam dan tajam, senyumnya yang manis membuat hati Tari bergetar setelah sekian lama ditinggalkan olehnya. Mereka melanjutkan lagu sambil duduk dengan bahu menempel membelakangi satu sama lain. Tari tersipu malu dibuatnya. Pesona Sandi sungguh tidak bisa ia tolak. Dan sejak dulu jujur dia memang belum bisa melupakannya. Masih ada ruang di hatinya untuk Sandi.
Selesai lagu Sandi menggenggam tangan Tari erat, "Mau jalan bersamaku?" Tanyanya dengan lembut. Tari tersenyum sumringah lalu mengangguk menyetujui ajakan mantan pacarnya itu.
***
Warso menghela nafasnya bingung, dia tidak mendapat uang sama sekali hari ini. Bengkelnya sepi pelanggan, paling hanya satu dua orang. Itupun hanya mengisi ban motor saja. Hanya cukup untuk makan. Dia berbohong saat berkata akan mendapatkan uang untuk membayar listrik hari ini. Jangankan untuk bayar listrik, uang sewa rumah saja sudah tiga bulan belum dia bayar. Dan sekarang dia harus memutar otak agar anak-anaknya bisa hidup dengan nyaman. Seketika dia teringat dengan sepupunya yang tinggal tidak jauh dari mereka. Namun Warso masih bimbang, apakah dia harus melakukan ini?
"Ning, apa yang harus saya lakukan?" Ucapnya sambil menatap langit menyebut nama almarhum istrinya. Dia sudah hampir putus asa, mencari uang kesana kemari sulit sekali. Dia tidak tega, tidak tega jika harus membawa kedua anaknya dalam kesengsaraan yang ia alami.
Tapi dia sudah buntu, berpikir berkali-kali pun tidak juga menemukan solusi. Ini harus ia lakukan, Warso meraih ponsel dan menguatkan dirinya untuk menghubungi sepupunya yang tinggal tidak terlalu jauh. "Halo, Mbak. Ini Warso." Ucapnya memperkenalkan diri.
"Eh, Apa kabar?" Tanya Lastri ramah.
"Baik Mba, ini... saya mau minta tolong." Malu-malu Warso menjelaskan semua keadaannya.
Untungnya Lastri setuju untuk membantu Warso dengan senang hati.
Di Sekolah seperti biasa, saat jam istirahat Anggun, Lala, dan Aldi sedang menikmati jajanan mereka di kantin.
"Jadi kalian akan ikut kompetisi paduan suara?" Tanya Lala.
"Ya, tapi belum dapet lagu yang pas." Sahut Anggun
Lala mengangguk, "Cita-cita lo memang dari dulu jadi penyanyi kan. Akhirnya lo bisa menunjukkan kemampuan lo."
Aldi hanya diam sambil menikmati minumannya mengamati kedua wanita di depannya bicara.
Lalu tiba-tiba saja Lala memukul Pundak Aldi, "Heh," Aldi seketika memejamkan matanya kesakitan. Punggungnya terasa sakit sekali sejak kejadian kemarin, tapi dia masih bisa menahannya. "Jagain teman gue baik-baik ya." Ucapnya
Aldi hanya tersenyum getir. Anggun yang melihatnya langsung curiga, dia sejak kemarin merasa ada yang aneh karena Aldi lebih pendiam dari biasanya.
***
Sampai di rumah Anggun termenung melihat Ayahnya berada di ruang tamu dengan wajah gusar dan hati yang berat. Dia lalu tersenyum saat melihat Anggun pulang.
"Anggun, sini." Ujar sang Ayah dengan senyum terbaiknya. Dia menyuruh anaknya untuk duduk di sampingnya.
Anggun duduk dengan wajah setengah hati, sepertinya ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Ayahnya.
"Bapak mau ngomong. Kamu dengar baik-baik." Ujar Warso.
"Iya. Ada apa pak?" Tanya Anggun penasaran.
"Bapak sudah menelpon Bude Lastri dan dia mengijinkanmu untuk tinggal disana bersama Nisya untuk sementara waktu. Kamu akan tinggal nyaman di sana."
Anggun terdiam sebentar, "Lalu bagaimana dengan Bapak?"