Berlari sekuat tenaga, Aldi menghampiri rumah sang Ayah dengan amarah luar biasa. Dia ingin mengambil ibunya kembali. Memasuki Rumah tanpa basa-basi, dia langsung menuju ruang makan. Di sana, dia melihat Ayahnya sedang menikmati santap malam sendirian di meja panjang nan megah.
"Di mana Ibu saya?" Tanya Aldi dalam.
Rosyid tersenyum kemudian menoleh, "Kasih salam dulu dengan Ayahmu ini, anak sialan."
"Saya tidak ingin meladeni Anda, sekarang katakan di mana Ibu saya?"
"Dia baik-baik saja, mungkin sedang menikmati secangkir teh di tempat yang sejuk."
"Kembalikan Ibu saya!" Hardik Aldi
"Hahaha." Rosyid tertawa meledek, "Dia masih istri sah saya. Sebelum dia Ibumu, dia adalah istri saya. Jadi kamu jangan macam-macam kalau ingin dia selamat."
"Saya akan lapor polisi kalau anda tetap tidak ingin mengembalikannya."
"Silahkan saja, tidak akan ada yang percaya dengan omong kosong anak SMA seperti kamu." Sambil menghisap rokoknya, Rosyid kemudian memanggil dua orang penjaga, "Iman, Suryo! Bawa bocah ini keluar." Teriaknya dengan tegas.
Beberapa menit kemudian dua orang tersebut datang dan menyeret Aldi keluar. Tubuh kurus tingginya tidak sanggup melawan dua orang dengan tubuh kekar-kekar.
"Kalau sampai anda berani menyakiti Ibu saya. Akan saya habisi anda. Anda dengar itu. Jangan macam-macam dengan ibu saya." Teriak Aldi dengan dua tangannya digeret keluar.
Saat itu tiba-tiba saja hujan lebat turun, Aldi yang sedang kesal menyisir rambutnya ke belakang. Dia lalu menoleh kembali ke Rumah tempat tadi dia diusir, dia berjanji akan membawa kembali Ibunya. Menarik napas dalam, Aldi melanjutkan perjalanan pulang.
Sampai di depan kontrakan, dia duduk lemas di teras Rumah berguyur hujan. Pakaiannya sudah basah sejak tadi, hatinya begitu sedih. Hanya Ibu yang dia punya sepanjang hidupnya. Dia bertahan karena ibunya, ayahnya tidah pernah peduli dengannya. Dengan frustasi Aldi melantunkan lagu (Bunda-Potret). Dia kemudian berdiri dan mulai melangkah masuk, diamatinya seisi Rumah, dari ruang tamu, dapur hingga kamar tidur Ibunya. Rasanya aneh berada di dalam Rumah tanpa seorang Ibu. Suara Aldi sangat menyentuh saat menyanyikan lagu tersebut. Dia kemudian menangis tersedu-sedu saat lagu berakhir.
Di ruang latihan, semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Latihan vocal terutama. Tapi ada satu orang yang belum hadir sore itu. Faisal melihat dengan seksama, rasa khawatir terlihat jelas dari wajahnya. Sejak kemarin mereka latihan rutin selama dua jam, Faisal berusaha memperbaiki penampilan mereka satu per satu
"Tari belum datang?" Tanya Faisal.
Rasya yang melintas kemudian menggeleng mendengar gurunya bertanya. Mata Faisal mengerjap beberapa kali, kedua tangannya ia taruh di pinggang.
"Gawat kalau Tari tidak datang." Gumam Faisal dalam hati. Dia melihat jam tangannya, ini sudah satu jam tapi anak itu belum datang juga.
Tak...tik...tak...tik. suara jam terus berputar.
Akhirnya beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka dan Tari melangkah dengan cepat. Faisal langsung menghela napas begitu lega, rasanya beban satu kwintal hilang begitu saja.
Tari berdiri di ruang latihan, "Saya punya lagu untuk kita mainkan besok." Ujarnya dengan tersenyum lebar.
Seketika anak-anak dan Faisal menghampirinya, Faisal mangambil kertas itu dan melihatnya. Raut wajahnya berubah dari serius dan sekarang dia tersenyum.
"Oke, mulai dari awal." Ujar Faisal.
***
Selesai latihan Faisal menunggu Hesti di sebuah café, dia menghubunginya karena ingin meminta tolong. Tadi saat latihan, Faisal melihat anak-anak sama sekali tidak punya tarian yang teratur dan baik. Semuanya berantakan, penari di sana hanya Zaki dan dia pun tidak bisa memberikan koreografi yang pas. Meminum sodanya dengan gugup, tak lama Faisal melihat Hesti jalan mendekatinya.
"Hai," Ujarnya saat Hesti sudah duduk dan menatapnya sekarang.
"Kamu begitu terburu-buru menyuruh saya kemari. Pasti ada sesuatu yang mendesak."
"Benar, saya... saya butuh bantuanmu."
"Jatah sewamu habis?"
"Bukan itu."
"Kamu tidak punya uang?" Tanya Hesti.
Faisal menghela napas, "Ini bukan soal uang Hes,"
"Anak-anak?"
"Ya, saya butuh bantuan kamu untuk mengajarkan mereka menari. Mereka, berantakan sekali."
"Mereka tidak punya guru tari Sal, jadi wajar."
"Oleh karena itu saya ingin kamu menjadi guru mereka."
"Saya tidak mau." Hesti dengan tegas menolak.
"Kenapa?"
"Saya tidak mau mereka berakhir seperti kamu atau saya."
"Apa maksud kamu? Bukankah kamu baik-baik saja?"