Anggun sedang mencuci piring saat Bude dan Pamannya berada di ruang tv bersantai.
"Ngomong-ngomong sampai kapan tuh si Anggun sama adiknya tinggal di sini?" Tanya lelaki dengan kulit sawo matang dan tubuh sedikit gemuk.
"Yo ndak tahu. Wong si Warso ora duwe duit. Kasihan mereka Pak, biarkanlah mereka di sini sampai bisa cari duit sendiri."
"Warso kan punya bengkel, dia sehat dan bisa cari duit. Masa menghidupi dua anaknya saja tidak bisa." Ujar Toto, suami Lastri.
Anggun yang mendengar itu semua terdiam sembari berpikir. Di dalam hatinya, dia sakit hati karena dianggap beban, Anggun sadar walau mereka keluarga tapi tetap saja dia akan menambah beban keluarga budenya. Namun ini satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup daripada harus menggelandang di luar.
Lastri kemudian menyuguhkan kopi hangat untuk suaminya, "Sabar toh Pak. Anggap saja ini ladang amal buat kita. Apa bapak tega melihat Anggun dan Nisya tinggal di bengkel yang sempit dan panas bersama ayahnya?"
Toto terdiam mendengar perkataan istrinya, dia baru berpikir kalau tidak ada salahnya membantu orang lain.
"Anggun kan juga anak yang baik, dia rajin dan patuh. Lagipula apa bapak tidak sepi di rumah tidak ada anak-anak? Bagus kan pulang hanya 6 bulan sekali kalau sedang libur semester."
"Ehem, yowis bapak mau ke kamar dulu." Ujar Toto.
Saat ingin meraih engsel pintu, Lastri mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.
"Terima kasih yo Pak." Ujar Lastri.
Lastri lalu beranjak menuju dapur untuk mengambil gelas dan melihat Anggun berdiri tersenyum menatapnya penuh terima kasih. Dia pun ikut tersenyum.
***
Diana, Sasha dan Desi sedang ada di ruang latihan The First Sound. Mereka tercengang melihat bagaimana anggota grup tersebut rutin berlatih dengan keras. Mereka bahkan punya alat-alat gymnastik agar tubuh mereka semakin kuat dan lentur.
"Hey, ngapain kalian duduk diam di sana. Sini latihan, liat tuh mereka pada latihan semua." Ujar salah satu senior.
Mereka bertiga maju dengan wajah bingung.
"Kalian anak baru kan? Tuh pull up dulu di sana 15 kali." Ujar Evan anggota sekaligus orang kepercayaan Sandi.
"Pull up? Di... sana?" Jawab Desi terbata-bata.
"Iya di sana. Kalau sudah selesai, kalian bisa menemui saya di sana." Ujar Evan kali ini menunjuk latihan loncat yang sudah di sediakan di ujung ruangan.
Tiga sekawan seketika saling bertatapan satu sama lain, "Kita di sini mau ikut paduan suara apa olimpiade sih?" Tanya Sasha sembari berjalan.
Diana kemudian melihat ke sekelilingnya orang-orang sibuk berolahraga. "Yang lain juga olahraga. Mereka pasti bukan ingin jadi penyanyi, tapi jadi atlet angkat besi. Hahaha." Ujarnya meledek membuat dua orang lainnya ikut tertawa.
Sesampainya di tempat pull up, seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar menyeramkan sudah menunggu mereka dengan sikap siap.
"Siapa yang ingin duluan." Ujar lelaki itu.
Dengan tatapan mata, Diana dan Sasha sekongkol untuk mendorong Desi untuk maju lebih dulu. Desi kemudian mencibir temannya tanpa suara kesal. Perlahan, dia maju dan mulai melakukan pull up. Beberapa menit kemudian Diana dan Sasha bergantian melakukan pull up. Ternyata ini tidak semudah yang mereka bayangkan.
Baru lima kali mengangkat badan rasanya tangannya sudah lemas gemetar tak bertenaga. Dengan susah payah mereka melakukan hal tersebut, sampai akhirnya Diana menyanyikan lagu (Sahabat Sejatiku-Sheila On 7) sambil terus melakukan pull up. Selesai pull up mereka kembali disuruh latihan meloncat agar tidak kaku di atas panggung sekaligus memperkuat otot kaki. Sasha dan Desi sudah kelelahan, mereka hampir menyerah kalau saja Diana tidak menyemangati mereka dengan nyanyiannya. Tapi ternyata latihan tidak selesai sampai di situ, ada adu lari cepat yang harus mereka lakukan dalam jarak pendek. Sasha dan Desi menggelengkan kepala ingin menyerah.
Satu jam kemudian, mereka bertiga terkapar di lantai dengan keringat membasahi tubuh. Napas mereka tersengal-sengal.
"Gua nggak kuat, gua nggak kuat." Ujar Desi.
"Ha...ha...ha... sama, gue nyerah. Kibarkan bendera putih gue." Sahut Sasha dengan tersengal-sengal.
"Gue juga, kalau setiap latihan kayak gini mending pulang. Nggak sanggup." Ucap Diana.
Desi kemudian duduk memandang kedua temannya, "Kita keluar aja yuk, latihan nyanyi udah kayak mau masuk olympic."
"Terus balik lagi ke Pak Faisal? Ogah gue." Jawab Diana ketus.
"Kita bikin saja grup sendiri." Ucap Desi.
Kini Sasha yang bersemangat dan bangun mendengar ide temannya, "Benar juga, boleh tuh." Ucapnya.
***
"Waw, selamat Anggun akhirnya ada yang melirik bakat kamu." Ucap Faisal yang begitu senang setelah mendengar Anggun ditawari untuk masuk label rekaman.
Anggun tersenyum lebar, "Tapi saya khawatir." Ucapnya pelan.
"Kenapa?"
"Bagaimana kalau saya ternyata tidak cukup bagus dalam industri ini? Dan... dan kalau saya menerima tawaran ini maka saya harus berbagi waktu antara sekolah, les dan rekaman. Saya takut tidak sanggup."
"Hei, ini kesempatan emas. Persetan dengan sekolah dan les kamu. Hah?" Ujar Faisal sembari tertawa. Anggun yang mendengarnya jadi tersenyum, dia tahu gurunya ini tidak serius dengan apa yang ia katakan.
"Apa anak-anak tidak apa-apa kalau saya sering bolos nanti."
Faisal kemudian mendekati dan merangkul Anggun, "Biar saya nanti yang bicara dengan mereka." Kali ini dia menatap gadis di depannya dengan serius.
Beberapa detik kemudian anak-anak mulai berkumpul untuk latihan. Faisal menatap mereka dengan aneh. Dia merasa ada yang kurang.