“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…,”aku menatap heran pada semua teman-temanku yang menatapku dengan tatapan tak biasa. Baru saja masuk kelas, hawanya sudah terasa tidak enak.
Semuanya kompak diam, begitu aku berjalan masuk ke dalam kelas. Tak
ada satupun sapaan yang ditujukan padaku. Aneh!
Sampai suara nyaring milik Cicia, si mantan ketua kelas 10 A, menggaung memenuhi telingaku. “Eh, Kanasya akhirnya lo dateng juga. Kita udah nungguin lo dari tadi. Si superstar kelas kita.”
“Ada apa sih?” tanyaku penasaran, basi berbasa-basi.
Cicia berjalan mendekat, dan membisikkan sesuatu yang membuat mataku terbelalak heboh. “Lo kali ini sekelas sama si Doi.”
Segera kupalingkan pandangan, mendadak lututku di buat lemas seketika. Apa katanya? Aku? Sekelas dengan dia?
“Bercanda lo menarik Ci.”
“Ih, siapa yang bercanda sih. Orang gue serius juga!”amuk Cicia tak terima. Kemudian ia mencubit pipiku keras, membuatku mengaduh kesakitan.
“Aduuuh! Apaan sih kok main cubit-cubit pipi gini!”keluhku sambil menggosok pipiku yang kuyakini sudah semerah tomat saat ini.
“Ya biar lo percaya. Dan nggak ngerasa ini ….Hup!”Cicia tiba-tiba menghentikan ucapannya. Ia menangkup bibir tipisnya dengan kedua tangan, memparodikan ekspresi kaget yang kunilai terlalu berlebihan “Omo…omo..omo…Jinja?Hah? Jangan bilang, kalau lo tadi malam nggak lihat pengumuman di grup angkatan kita ya?! Aduh Kana, lo kok bisa-bisanya sih. Eh tapi kalau lo nggak lihat pengumumannya, kok bisa tahu kalau masuk kelas A lagi?”
“Feeling.”
Mendengar jawaban asalku, untuk kedua kalinya Cicia kembali mengeluarkan ekspresi terkejut berlebihannya yang membuatku mulai jengah sekali.
“Gila! Feeling lo bisa tepat gitu ya. Salut gue. Makin ngefans deh gue sama lo, Kanasya Anindita.”
Aku tersenyum hambar. Lantas beranjak mendekati papan tulis dimana sebuah kertas panjang yang kuyakini berisi daftar nama murid 11A. Aku hanya ingin membuktikan bahwa apa yang barusan Cicia bilang adalah sebuah prank belaka.
Mataku dengan teliti melihat satu persatu nama di kolom yang tertera. Hingga netraku menemukan sebuah nama seseorang yang sangat ingin kuhindari selama 2 tahun belakangan. Ranelo Vemozza.
Aku kembali menoleh pada Cicia yang hanya menganguk sebagai isyarat. Ia menunjuk bangku kosong di samping seorang pemuda yang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja. Aku tahu betul siapa itu dan apa maksud isyarat yang diberikan oleh Cicia. Aku hanya merasa tidak percaya dengan semua ini.