Kuhembuskan nafas berat. Netraku memandangi rumah-rumah bertingkat di seberang dengan gemerlap lampu kuningnya. Jalanan berpaving yang terbentang membagi sisi ruas kanan blok perumahan A dengan blok perumahan B nampak bagitu lengang. Maklum, tak ada oamg yang ingin beraktivitas saat dini hari seperti ini.
Aku mengusap kedua lengan atasku, berusaha mengusir hawa dingin yang menembus, menusuk kulit. Rupanya pagi ini sangatlah dingin.
Pandangan mataku mendadak kosong. Menerawang jauh ke belakang. Dimana saat itu, keadaanku sangat kacau. Terutama ketika pertama kali Bunda memperkenalkanku pada sosok Ayah baru. Seorang lelaki berwajah tegas, dengan tubuh gagah melebihi Papa.
Dari penampilan berpakaiannya saja, aku dapat menebak jika usia lelaki itu lebih muda dari Bunda.
“Kana, ayo salim dengan Ayah Burhan,” ucap Bunda antusias.
Aku bergeming. Pikiranku penuh dengan praduga-praduga yang tak pasti. Aku bahkan menyalahkan diriku sendiri. Kurasa Bunda dan Papa sampai bercerai karena aku. Alasan kenapa Bunda mengkhianati Papa juga pasti karena aku.
“Kana?!” nada bicara Bunda naik satu oktaf.
Membuat nyaliku ciut seketika. Dari aku kecil Bunda dan Papa tidak pernah ada di sampingku, dan sekarang mereka justru gagal memberikanku keluarga cemara seperti yang impikan sejak lama.
“Kana nggak mau punya Ayah baru Bunda! Kana sayang sama Papa. Kana mau kita utuh seperti dulu lagi. Kana janji nggak akan minta macam-macam dengan Bunda. Tapi Kana mohon Bunda jangan berpisah dengan Papa. Hanya itu yang Kana mau Bund…hiks…hiks…hiks.”
Air mataku luruh di hadapan Bunda untuk pertama kalinya setelah memasuki SD. Bukannya aku tidak pernah menangis. Hanya saja aku selalu menangis di kamar sendirian karena takut akan membuat Bunda khawatir.
“Bundamu tidak akan kembali pada kita Kana. Sudahlah, mari kita pulang,” Ayah menimbrung obrolan diantara kami.
“Nggak Pa, Kana nggak mau pulang sebelum Bunda ikut pulang bareng kita. Mau ya Bun? Pleaseeee!” rayuku pelik.
Bunda tlama terdiam, membuatku tersenyum senang. Pasti Bunda tengah berpikir antara ikut denganku atau menikah lagi bersama Om Burhan, sekertaris Bunda di perusahaan. Setidaknya kupikir masih ada setitik harapan. Meski tidak begitu besar.
Hufffht…