Ekuilibrium

BOne
Chapter #2

Alunan

Aku menatap diriku di depan cermin di samping meja belajar yang belum kubereskan setelah mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai ghost writer. Tampak lingkar hitam di bawah mataku begitu mengganggu. Aku lantas memakai concealer untuk menutup lingkar hitam itu. Aku menghembus napas panjang sambil memperhatikan pantulan diriku. Aku begitu malas untuk pergi ke kampus. Di sana, tak ada orang yang benar-benar temanku, karena mereka begitu menutup dirinya dan sibuk dengan teman mereka yang lain. Sehingga aku merasa sendirian di tengah gerombolan teman-teman seangkatanku yang sering sekali terlihat bersenang-senang.

Aku memasukkan pakaian ganti ke dalam tas yang akan kupakai untuk berlatih di kampus hari ini. Lantas kubawa tas ranselku dan keluar dari kamar. Aku menghampiri Mama yang sedang memasak sayur kacang. Wangi dari panci tercium ketika aku keluar dari kamar. Wewangian dari kayu manis yang bercampur dengan wangi terasi yang larut dalam air gula merah ditambah sedikit gula putih, lalu bawang putih dan bawang merah yang diiris tipis mampu membuat perutku berbunyi dan meminta untuk memakan masakan sederhana Mama di kala keuangan keluarga kami yang makin menipis. 

"Mau makan dulu?" tanya Mama padaku. 

Aku menggeleng. Aku memilih untuk kelaparan dan membiarkan adik-adikku untuk makan terlebih dahulu. Biarlah aku makan belakangan saja, setelah aku pulang dari kampus yang membuatku lelah. 

"Hampura, Lun. Mama gak bisa kasih ongkos. Ieu gé jang beli token listrik."

"Santai atuh, Ma." Aku lantas pamit pada Mama untuk pergi ke kampus. Terpaksa aku menggunakan uang yang kusimpan sebagai dana darurat yang aku kumpulkan dari hasil kerja sampinganku. Aku menaiki dua angkutan kota atau yang biasa kami sebut angkot. Namun, karena aku ingin menghemat pengeluaranku aku memutuskan untuk naik satu angkot saja dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. 

Selama berjalan, aku memperhatikan keadaan sekitar. Aku tak sengaja melihat supir angkot yang melempar sampah ke arah sungai ketika melewatinya. Sungguh melihat hal itu aku merasa kesal. Tak bisakah dia menyimpan dulu sampahnya dan membuangnya ketika ada tempat sampah? Apa dia tak kasihan dengan masyarakat dan juga hewan yang tinggal di dalamnya terkena dampaknya? 

Tak hanya itu, salah satu yang kulihat di jalanan adalah kehidupan tunawisma. Aku prihatin dengan kehidupan para tunawisma yang tengah mendorong gerobak  bersama keluarganya. Kondisi mereka begitu memprihatinkan. Salah satu anak berusia sekitar 2-3 tahunan menangis sembari digendong oleh ibunya. Kurasa anak itu kelaparan. Sama sepertiku. Aku merasa iba. Hatiku teriris melihat mereka yang begitu sabar menenangkan anaknya. 

Dengan air mata yang kutahan kuat-kuat, aku berlari membeli nasi padang di seberang jalan. Aku membeli paket mahasiswa dengan harga yang murah. Setelah aku mendapatkan nasi padang beserta daging ayam goreng sebagai lauk, aku segera mengejar mereka yang sudah berjalan cukup jauh. 

Aku memberikan nasi padang itu pada mereka. "Maaf saya hanya kasih sesuatu yang tak seberapa. Tapi semoga kalian menikmatinya, ya," ucapku lalu pamit pergi. Aku enggan melihat reaksi mereka karena aku pasti akan menangis. Lantas aku mempercepat langkahku mengingat waktu kelas dimulai sebentar lagi. 

Lihat selengkapnya