Ekuilibrium

BOne
Chapter #4

Alunan 3

Asap pembakaran sampah di pinggir jalan besar itu sungguh mengganggu penglihatanku yang sedang melihat rembulan dan benda-benda di ruang hampa  yang terlihat sedang berlomba-lomba menjadi yang paling terang di langit malam ini. Aku paling suka melihat planet-planet yang bersinar tanpa kerlap-kerlip seperti bintang. Aku ingin seperti planet. Bersinar tanpa harus takut tak terlihat karena cahayanya tidak akan padam dengan memantulkan cahaya dari Matahari yang membantunya bersinar di langit malam. 

Sial. Asap pembakarannya membuatku jengkel. Aku lantas keluar rumah dan mencari orang yang membakar sampah itu sembarangan. Namun, aku tak menemukan siapa pun di sekitar area pembakaran sampah tersebut. Kalau saja orang itu ada di sini, aku akan menasihatinya supaya mengelola sampah dengan baik. Tak bisakah ia memberi sampah itu ke petugas kebersihan agar dibawa ke tempat pembuangan akhir? Atau mungkin petugas itu tak membawa sampah tersebut karena sudah menggunung sekali? Entahlah, tapi aku merasa terganggu dengan hal ini. 

Aku menghembus napas panjang seraya berjalan menuju ujung jalan. Jika belok ke arah kiri pengguna jalan akan disuguhkan dengan jajaran makanan kaki lima yang ramai dikunjungi masyarakat terlebih ketika jam makan malam pada akhir pekan yang akan membuat kemacetan di jalan ini. Aku berjalan dan melihat-lihat jajanan tanpa membeli. Dengan melihatnya saja sudah cukup membuatku puas karena aku memilih mengeluarkan uang untuk kepentingan lain. Aku menghentikan langkahku dan mataku membelalak begitu melihat harga seafood bakar yang aromanya begitu menggugah seleraku. 

Masih melihat harga aku kembali dikejutkan dengan kehadiran Nero di depanku. Ia tersenyum dan bertanya mengapa aku berada di sini sendirian. Aku berkata jujur padanya bahwa aku hanya melihat-lihat saja di sini.

"Mau antar aku ke sana?" tanyanya setelah melihat ke toko es krim dan minuman yang tergolong murah bagi kaum menengah ke atas. 

Aku mengangguk dan mengantarnya. Aku lantas menunggu di kursi luar toko sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Tak lama, Nero keluar sembari membawa dua cone es krim, lalu duduk di sampingku.

"Ini untukmu." Nero memberikan es krim rasa vanilla itu padaku. 

Aku tidak bisa menolaknya karena dia sudah terlanjur membeli dua. "Terima kasih, nanti akan kuganti."

"Tidak usah. Anggap saja ini sebagai bayaran kamu sudah mau temani aku."

Aku menatapnya. Ah, mungkin Nero minta ditemani sebentar sambil menikmati es krim rupanya. Aku tidak tahu harus melakukan apa di saat seperti ini. Aku hanya bisa memakan es krim tanpa berbicara. Namun, sesekali ekor mataku melirik ke arahnya yang membuatku tertarik. Tak bisa kusangkal bahwa matanya yang cantik dan berwarna cokelat terang itu dapat membuat siapa pun yang menatapnya akan merasa tenang.

"Apa kamu bahagia hari ini?" tanyanya yang mampu membuatku terpaku. Aku terdiam cukup lama seraya menahan air mata yang bersikeras melewati pelupuk yang membendung air mata agar tak mengalir membasahi pipiku. Pertanyaan itu tak pernah kudengar dari siapa pun sebelumnya. Kenapa dirinya menanyakan hal yang dapat membuatku menangis?

"Hm...ya, begitu.... Terima kasih sudah bertanya," ucapku ambigu setelah mengusap air mata yang sudah tak bisa kutahan lagi. 

Ia menepuk bahuku, menenangkanku. Sepertinya ia tahu bahwa aku berusaha baik-baik saja, padahal mataku tidak bisa berbohong. Bawah mataku selalu bengkak akibat menangis dalam waktu yang lama. Biasanya kusamarkan menggunakan makeup agar terlihat seperti aegyo-sal atau lipatan bawah mata yang terlihat ketika sedang tersenyum, tapi sekarang aku tidak memakai riasan sehingga bengkaknya selalu terlihat. 

"Menangislah, jangan menahannya." Nero tak berhenti menepuk bahuku. Ia bahkan menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. 

Lihat selengkapnya