Keheningan menyelimuti suasana di antara kami. Nero tersenyum sedu sambil mengaduk es teh menggunakan sedotan. Aku tak berani untuk melontarkan pertanyaan yang sudah menumpuk di benakku. Namun, aku hanya bisa menepuk-nepuk pundak Nero. Meskipun aku tak tahu apakah hal ini akan membuatnya sedikit lega atau tidak. Tetapi, dengan menceritakan satu hal yang membuat sesak pastinya akan meringankan beban pada pundak kita.
"Aku harap kamu akan baik-baik saja, Nero. Semangatlah! Meskipun awalnya memang sulit untuk menerima, tapi percayalah pada waktu yang akan menuntunmu keluar dari lingkaran ini."
Nero terkekeh sambil menatapku. Aku terdiam melihatnya yang baru kali ini tertawa kecil. Aku terpana melihat wajahnya yang menawan. Apa Nero memang setampan itu? Aku berdehem seraya memalingkan wajahku. Entah mengapa aku merasa tiba-tiba gerah, padahal angin yang berhembus malam ini cukup dingin.
"Baru kali ini aku dengar kamu menyemangatiku. Kamu lucu, ya, Aluna." Nero tak berhenti tersenyum.
Ya Tuhan...sekarang jantungku berpacu dengan cepat dan aku merasakan sesuatu yang aneh di perutku. Lantas saja aku beranjak dan keluar dari tenda itu untuk menyusul Iris yang masih di kedai mochi. Terlihat dari sini antrean panjang dari kedai mochi itu. Namun, perhatianku teralihkan begitu melihat ada beberapa orang yang berseteru di antrean bagian depan. Aku menghampiri mereka untuk mencari tahu apa yang tengah dipeributkan.
Dari perbincangan yang samar-samar kudengar, rupanya ada seorang pria yang membuat masalah dengan membuang dua kantung plastik sampah di samping kedai mochi tersebut sehingga mengganggu para pelanggan. Aku melihat Iris tengah berseteru dengan pria tersebut yang membuatku berlari menghampirinya.
"Ada apa, Iris?" tanyaku berusaha mencari tahu apa yang tengah terjadi.
"Bapak ini tidak bisa dinasihati, Kak. Sudah tahu tempat ini bukan tempat pembuangan sampah."
Aku mengelus punggung Iris untuk menenangkannya sesaat. Aku lantas meminta maaf pada pria itu karena Iris mencampuri perbuatannya. Aku menunduk karena takut pria itu akan memaki Iris. Benar saja, ia mengeluarkan kata-kata sumpah serapah pada kami. Ia bahkan mengata-ngatai bahwa kami ini sok bijak dan tak sopan menasihati orang yang lebih tua darinya.
"Apa Bapak tahu kalau membuang sampah sembarangan bisa terkena sanksi hukuman pidana atau denda?" Aku menoleh ke sumber suara itu. "Banyak saksi mata yang melihat perbuatan Bapak. Selain itu Bapak juga seolah-olah menutup jalan rezeki orang dengan membuang sampah itu di pinggir kedainya."
Pria itu terdiam. Wajahnya terlihat malu setelah kata-kata itu keluar dari mulut Nero—rupanya ia menyusulku kemari—padahal sebelumnya pria itu begitu menggebu-gebu membalas Iris dan orang-orang yang menyudutkannya. Tak ada celah untuk melawan lagi, ia lantas membawa kembali dua kantung plastik sampah itu yang baunya sudah tak tertolong, kemudian pergi tanpa mengucap apa pun.
Para pembeli yang masih mengantre itu riuh bercakap-cakap membicarakan Nero yang berhasil membuat pria itu pergi dengan rasa malunya. Aku merasa bersalah karena tidak bisa membela Iris dan menghentikan sumpah serapah pria itu. Sejujurnya aku takut untuk melawan seseorang. Kakiku bahkan bergetar dan terasa lemas ketika menghadapinya. Jantungku juga berdebar dengan cepat sehingga bernapas saja terasa sulit.