Suara jari jemari yang menghantam papan ketik dengan pergerakan yang cepat membuatku terganggu. Mataku yang masih tertutup enggan untuk melihat siapa yang membuatku sulit untuk kembali tertidur. Tunggu kenapa aku tertidur? Aku membelalak, melihat tempat yang begitu asing bagiku. Aku lantas beranjak dari kasur dan tak sengaja melihat Nero tengah berkutat dengan komputernya ditemani dengan musik yang ia dengar melalui headphone. Ini di mana? Bagaimana aku bisa berada di kamar orang lain? Apa ini kamar Iris? Tetapi interior bernuansa hitam putih ini lebih cocok dikatakan sebagai kamar Nero. Entahlah....
Aku menghampiri Nero dengan rasa tak enak hati karena aku merasa aku tertidur saat berada di motor. Memalukan! Aku malu untuk menatapnya. Aku yakin wajahku saat tidur tidak enak dipandang karena pasti aku membuka mulutku dan juga mataku pasti penuh dengan belek. Ah! Aku segera mengusap mataku agar setidaknya aku dalam kondisi yang layak untuk berbicara dengan Nero.
Aku mengetuk bahu Nero dengan jari telunjuk. Ia terkejut melihat aku yang tiba-tiba berada di belakangnya. Ia segera melepas headphone-nya, lalu menuntunku untuk duduk di tepi ranjang bersamanya. Telapak tangannya bergerak menyentuh dahiku.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sedang demam? Tadi kamu hampir jatuh dari motor. Untung aja aku tahan dan langsung bawa kamu ke sini," gerutunya.
Pantas saja tadi aku merasa pusing dan mengantuk ketika di perjalanan. Aku tersenyum dan berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku tak mau Nero semakin khawatir padaku.
Meskipun aku merasa tak enak pada Nero, aku lantas memberitahukan padanya maksudku mengajaknya bertemu. Aku mengatakannya dengan hati-hati, tanpa membuatnya berpikir bahwa aku sedang mengemis padanya. Aku berjanji padanya untuk langsung mengembalikan uangnya setelah aku mendapatkan gaji dari pekerjaan sampinganku. Nero tersenyum dan segera memberikan sejumlah uang yang kubutuhkan.
"Kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu jangan segan-segan minta bantuanku, ya," ucapnya sambil menarikku ke dalam pelukannya.
Aku mengangguk sembari menikmati rasa nyaman yang diberikan Nero. Ia seolah tahu apa yang tengah kubutuhkan saat ini. Laki-laki yang menjadi support system dalam kehidupanku yang cukup suram.
Ketika sore tiba, aku menatap langit jingga yang terbentang di cakrawala barat. Cahaya yang membuat langit tampak cantik, sehingga kedua mataku tak bisa lepas dari pemandangan yang selalu saja membuatku kagum. Indah dan begitu menawan. Aku menikmati langit senja sembari mengulang-ngulang lagu dari Gfriend "Sunrise" yang menurutku instrumen pada lagu tersebut lebih cocok didengar ketika memandang langit biru yang terkena sinar jingga di sore hari. Namun, tak jarang pula aku mendengarkan lagu itu ketika melihat matahari terbit dari atap rumah nenekku yang bisa kuakses melewati area kamar kontrak.
"Aluna," panggil Nero dari arah belakangku. Ia langsung memelukku dari belakang dengan cukup erat. Aku tertawa geli ketika dirinya mencium pipiku bertubi-tubi.
Setelah aku lebih membuka diri, Nero juga mulai membuka dirinya. Kata-katanya selalu terngiang di benakku yang mengatakan bahwa, "Hubungan tiap manusia itu harus mempunyai timbal balik. Kamu sudah bersedia untuk menjadi pribadi yang terbuka ketika berhadapan denganku sebagai lawan bicara, hal itu juga berlaku bagiku. Aku pun bersedia untuk terbuka padamu. Namu, kamu harus selalu ingat bahwa masing-masing dari kita pasti ada satu atau dua hal yang tidak bisa diceritakan karena hal itu adalah privasi."
Nero adalah orang yang sangat baik. Ia selalu memperlakukanku dengan sopan. Dirinya akan menyelidiki tatapan orang yang menjadi lawan bicaranya. Lalu ia akan memperlakukannya dengan hati-hati sesuai dengan suasana hati mereka. Akan tetapi, satu hal yang membuatku terkadang jengkel pada Nero adalah ia orang yang selalu terganggu ketika aku berinteraksi dengan lawan jenis. Bahkan bagaimana caraku bertukar pesan dengan teman sekelas laki-lakiku saja ia merasa kurang suka.
Aku mengerti kenapa Nero seperti itu. Laki-laki yang mampu menjeratku ke dalam dunianya ini belum lama ditinggalkan oleh mantan pacarnya. Aku berada di sisinya ketika ia ingin kembali pada mantannya, tapi mantannya itu dengan cepat membawa seseorang yang baru. Nero terpukul, hatinya seolah ditusuk oleh sebilah belati yang sangat tajam. Ia begitu naif, ingin mempertahankan seseorang yang memanfaatkannya untuk sesaat dan dijadikan sebagai pendamping sesaat, sebelum mendapatkan apa yang ia mau.
Tergambar begitu jelas di netranya. Nero begitu takut kehilanganku. Ia selalu memintaku agar selalu bersamanya dan tidak meninggalkannya. Aku mengangguk, lagipula siapa yang mau meninggalkan laki-laki yang selalu memanjakanku, yang selalu membantuku saat aku terpuruk dan membutuhkan bantuan dari orang terdekat.
Ia selalu datang membawa secercah cahaya harapan agar aku bisa bertahan di dunia yang menakutkan ini. Ia seperti kunang-kunang di sebuah gua yang gelap. Mencariku di antara bebatuan dan tetesan air yang mengalir, lalu menuntunku keluar dari bayang-bayang gelap itu.