Ekuilibrium

BOne
Chapter #9

Alunan 8

Tanganku bergetar hebat. Bahuku naik turun seiring air mata yang terus mengalir tanpa henti. Aku memejamkan mata, berusaha untuk menenangkan diri. Aku membuka mulut seakan-akan aku berteriak tanpa suara.

Aku sudah memberikan jawaban terhadap pesan Nero yang membuat darahku mendidih. Aku berusaha untuk tetap tenang dan menjawab dengan hati-hati tanpa menyinggungnya. Namun, ia seperti memojokkanku. Ia berkata bahwa ia tak mau diriku dilihat oleh banyak orang ketika menari terutama laki-laki. Ia tak mau calon istrinya dijadikan tontonan. 

Memang sebelumnya kami sempat membahas pembicaraan yang cukup dalam. Mengenai apakah hubungan kami hanya sesaat belaka ataukah akan menjalin hubungan yang serius. Di umurku yang sudah 21 tahun, aku enggan untuk mencari laki-laki lain. Aku sudah merasa cocok dengan Nero. Terlebih dirinya selalu membantuku entah dalam bentuk moral, moril, ataupun materi. Kami pun selalu membicarakan masalah secara bersama agar masalah bisa teratasi dengan mudah. Namun, pembicaraan kali ini tidak membuatku bisa menerimanya. Ini sudah keterlaluan. 

Aku menjajaki dunia seni bukannya tanpa alasan. Ada keterkaitan diriku dengan seni yang sulit untuk kugambarkan. Aku menyukai semua hal berbau seni. Terutama musik dan gerak. Aku menyukai kebebasan ekspresiku ketika menari diiringi oleh alunan yang seolah sudah menyatu dengan tubuhku. 

Sial. Pembahasan ini membuatku bingung. Aku tidak tahu apakah harus meneruskan pendidikanku dalam dunia tari atau berhenti seperti permintaan Nero. Di satu sisi aku tidak bisa melepaskan duniaku, tapi di sisi lain aku tak ingin melepaskan Nero. Hal ini membuatku gila!


Jika kamu merasa terbebani dengan permintaan ini, kamu bisa mencari laki-laki yang lebih baik dariku. Tetapi, tolong pertimbangkan permintaanku yang satu ini.


Ucapan itu membuatku tak berdaya. Apapun pilihanku tidak akan membuatku bahagia pada akhirnya. Kehadiran Nero dalam hidupku mengubah kepribadianku. Aku yang terbiasa mandiri berubah menjadi ketergantungan padanya, aku  menjadi perempuan yang dimanja olehnya, aku selalu mencarinya seperti anak kucing yang terpisah dari induknya ketika dirinya tak memberikan kabar padaku. Magnet yang menarikku ke arahnya tak bisa dilepas begitu saja. Aku sudah menganggap Nero sebagai bagian penting dari hidupku. Namun, menari juga sama pentingnya bagiku. 

Aku mengabaikan Nero selama beberapa hari. Dengan suasana hati yang tak karuan, aku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berlatih menjadi seorang penari yang tak mempunyai peran apa pun, hanya sebagai pelengkap dalam blocking yang berdiri di jajaran belakang tanpa ada kesempatan untuk mendapatkan highlight

Ketika aku masuk ke studio tari, aku melihat ada Dinara tengah memainkan ponselnya sembari bersandar pada dinding seberang cermin. Aku menghampiri teman-teman yang sedang membahas blocking yang berubah karena selama beberapa hari aku tidak mengikuti latihan. 

Sebagai seorang penanggung jawab aku lantas memperbaiki semuanya. Termasuk blocking dan juga beberapa gerakan yang dirasa kurang bagus. Aku membuat semua orang yang memegang peran sebagai penari di dalam babak awal mendapatkan bagian untuk berada di tengah dan menjadi sorotan meskipun tidak selama Dinara yang merupakan seorang center. Aku berusaha untuk adil pada semua orang, meskipun aku tahu bahwa sebelumnya aku tak bersikap adil pada mereka dan bersikap egois. 

Ketika kami semua berlatih, Teh Nami—asisten dosen mata kuliah Teater Tari—menghampiriku dan meminta untuk bicara denganku sebentar. Aku lantas mengikutinya ke luar studio.

Lihat selengkapnya