Suara teriakan yang memekik telinga terdengar di seluruh penjuru kota. Suara nan pilu yang mengandung ketakutan bercampur panik dan bingung itu seperti pengiring lagu bagi para siren yang tiba-tiba saja naik ke daratan dan menyerang penduduk kota. Mereka seperti makhluk yang tidak mempunyai akal sehat. Tampak netra bagian sklera para siren itu berubah merah. Mereka menggeram seperti hewan yang berusaha untuk menjaga wilayahnya. Para insan terbirit-birit melarikan diri dari serangan para Siren. Anak-anak menangis seraya mencari keluarga mereka yang menghilang. Banyak penduduk tergeletak lemah dengan luka sayat yang menganga di tubuh mereka.
Raden Angkawijaya atau Pangeran Kusumadinata II yang memiliki perawakan tubuh gagah, paras wajah yang rupawan, dan memiliki kharisma yang begitu tinggi datang bersama pasukan dari Kerajaan Sumedang Larang untuk menyelesaikan masalah yang semakin tak terkendali itu. Mereka melawan para siren yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Cukup sulit untuk menaklukan mereka dalam waktu yang singkat. Makhluk yang rupanya tak pernah terlihat itu memiliki kecerdasan yang tak bisa diremehkan. Meskipun mereka berada dalam kondisi yang digerogoti oleh kegilaan yang tak terkendali, mereka dengan mudah menghindar dari serangan balik Angkawijaya bersama dengan pasukannya.
Angkawijaya melihat seorang siren yang berbeda dari siren-siren yang tengah menggila di lautan para insan yang bergeletakkan. Tampak siren berbadan kekar dengan kulit yang sangat putih itu memegang dadanya seperti menahan rasa sakit. Dalam celah-celah sirip tangannya terlihat sinar yang terpancar. Angkawijaya yang melihat kesempatan itu lantas berlari ke arahnya. Pedang yang siap menghunus lawannya itu tiba-tiba tertahan ketika gumpalan air yang melucur dengan cepat mengenai pedang tersebut. Gumpalan air itu menyelimuti seluruh bagian pedang, sehingga menyentuh tangan Angkawijaya. Namun, air itu berubah menjadi senjata. Kumpulan air yang tampak lembut itu berhasil menyayat kulit Sang Pangeran. Luka sayat pada tangannya meninggalkan jejak yang tak hanya menggurat permukaan kulit, tetapi juga menyisakan rasa perih yang meresap dalam. Merahnya darah segar yang keluar dari luka itu menetes membasahi tanah yang sudah dijajaki oleh kekacauan yang semakin tak terkendali.
Jika Angkawijaya dan pasukannya tidak berhasil menahan para siren, korban jiwa akan semakin bertambah dan bisa saja kekacauan ini akan menyebar hingga ke kota lainnya. Yakin bahwa siren yang berada di depannya adalah pemimpin atau kunci dalam menghentikan hal ini, Angkawija berusaha untuk menyerangnya dan sebisa mungkin menghindar dari air yang melayang dengan cepat ke arahnya. Ia melihat sapu yang tergeletak di dekat sebuah rumah. Dengan cepat ia mengambil sapu itu, kemudian ia mematahkan gagangnya. Bagian runcing pada gagang tersebut ia lempar ke arah siren tersebut. Tetapi, lagi-lagi siren itu bisa mengelak dengan air yang sedemikian rupa ia manfaatkan.
Sang Pangeran tidak mau menyiakan kesempatan ini. Meskipun darahnya tak berhenti keluar dari lukanya, ia kembali menyerangnya dengan tangan kosong. Namun, seketika kumpulan air datang ke arahnya dan menyelimuti seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala. Berbeda dengan air yang menyentuh kulitnya, kumpulan air ini akan semakin menjerat Angkawijaya jika dirinya bergerak dan berusaha untuk melepas tubuhnya dari selimut air yang menyesakkan.