Sinar matahari yang menyelinap masuk melalui sela-sela tirai membuatku terbangun dari tidurku. Aku merasakan napas yang tenang di sekitar leherku. Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati kehadiran Aluna yang berada di sampingku. Perempuan yang kusayangi ini memelukku dalam tidurnya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang begitu damai. Lantas kukecup keningnya cukup lama. Kecupan itu membuat tidurnya terganggu. Ia semakin mendekat dan mengeratkan pelukannya. Aku mengelus-ngelus kepalanya sembari sesekali mengecup kepalanya.
“Sayang, kamu baru bangun?” tanyanya dengan suara yang serak.
Aku mengangguk singkat dan memejamkan mataku lagi. Namun, begitu kurasakan bibirku disentuh oleh bibir Aluna, aku kembali membuka mataku. Melihat wajah Aluna saat ini membuatku teringat kejadian semalam ketika kami menghabiskan waktu dengan deru napas yang memburu. Selain itu, pertanyaan-pertanyaanku tentang Elias kembali terbesit dalam benakku. Makhluk aneh itu memiliki rupa yang sangat tampan dengan kulitnya yang berwarna kelabu nan eksotis. Seperti makhluk yang keberadaannya tidak nyata, yang merupakan karangan mitologi belaka. Aku lantas bertanya pada Aluna siapakah Elias, lalu bagaimana mereka bisa saling mengenal.
Ia lantas menjawab pertemuan mereka yang dirasa tidak masuk akal. Mereka bertemu di lautan dalam, di tengah kegelapan dan hampanya ruang yang tak bisa dijarah oleh manusia biasa. Ia adalah orang yang menyelamatkan Aluna dari jalan yang ia tempuh menuju maut. Aluna menyebutkan bahwa Elias adalah seorang siren yang merupakan keturunan dari Sang Pemimpin terdahulu yang membuat perjanjian dengan leluhurnya. Perjanjian untuk menyeimbangkan dua alam, daratan dan lautan. Meskipun ia tidak tahu awal mula terbentuknya perjanjian keseimbangan, satu hal yang dapat kupastikan adalah hal itu pasti berawal dari tragedi atau hal-hal yang merugikan salah satu wilayah atau bahkan keduanya. Entah apa yang mereka perbuat sampai-sampai perjanjian ini harus terbentuk.
“Kemarin, kamu sempat bercerita kalau kamu melihat sesuatu saat menyusulku ke pantai. Kurasa, yang kamu lihat saat itu adalah bayangan Elias yang memperhatikan dari kejauhan.”
Hal yang kuketahui secara tidak sengaja tentang kehadiran Elias dalam hidup Aluna serta keterkaitan antara leluhur mereka, rasanya seperti aku bukan bagian terpenting dari hidup Aluna sehingga mengetahui hal ini belakangan. Selama ini aku percaya padanya, percaya tak ada hal yang disembunyikan oleh kekasihku. Namun, stereotip tentang hal itu dengan mudahnya ia patahkan. Jika aku tak bertanya dan menggali lebih dalam, aku tak akan mendapati hal-hal yang mungkin saja tak akan pernah ia ceritakan padaku. Aku merasa pondasi kepercayaan padanya yang kubangun dihancurkan begitu saja.
Bukan perihal aku yang bersikap berlebihan, tetapi hal ini terjadi ketika kami baru saja memperbaiki hubungan kami hampir putus dan mengalami kerenggangan yang tertahan oleh masing-masing ego kami. Perasaanku saat ini dipenuhi oleh kekecewaan bercampur kemarahan. Bagaimana bisa seseorang yang kuanggap sebagai belahan jiwaku bisa menutupi-nutupi sesuatu yang begitu penting? Apakah selama ini aku dibohongi dan hanya melihat topeng yang bisa membuat orang lain iba dan jatuh cinta padanya? Mungkinkah Aluna tidak mempercayaiku hingga ia tak bisa menceritakan semua hal ini?