Dalam kegelapan yang dalam, aku mendapati diriku tengah menatap sebuah cermin yang besar. Aku mendekati cermin itu dan melihat pantulan diriku. Kelam yang terkandung dalam wajahku tampak menyedihkan. Aku menangis karena tak kunjung mendapatkan kebebasan yang kuidamkan. Kehidupan yang damai dan bahagia terus saja tersingkirkan oleh masalah-masalah yang berdatangan. Aku malah terjerat ikatan yang tak pernah kuinginkan. Aku memang mendambakan kedamaian, tapi bukan berarti aku yang harus bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak kulakukan.
Ruangan yang seketika berubah menjadi putih itu membuatku terkesiap. Seketika itu pula aku mendengar suara dengingan yang membuatku muak. Dengingan itu semakin keras seiring dengan rasa sakit yang semakin menghujam. Aku terhuyung seraya mencengkeram kepalaku.
Masih menahan rasa sakit, aku melihat ada sosok berdiri di depannya. Aku mencoba mengingat di mana ia melihat sosok yang tampak kukenal. Aku terkesiap begitu mengingat rupanya. Ia adalah orang yang menyebabkan Nero dan Elias bertemu. Lyrion, itu adalah nama yang kudengar dari Elias setelah kuhujani pertanyaan padanya. Tubuhnya begitu tegap dan kuat, seolah-olah tidak ada yang bisa meruntuhkannya. Mata Lyrion tampak berbeda—mata kirinya berwarna biru tua, sedangkan mata kanannya berwarna hijau terang. Kontras yang begitu mencolok, tapi di balik itu, ada ketenangan dan kekuatan yang memancar dari dirinya.
“Apa yang kamu mau?” tanyaku dingin begitu mengingat pertemuan tak sengaja kami.
Seiring dengan kehadirannya yang tampak begitu kuat dan enggan untuk menjawab pertanyaanku, ada sesuatu yang berubah. Tiba-tiba, tubuh Lyrion mulai melemah. Matanya, yang tadinya bersinar penuh kehidupan, mulai kehilangan cahayanya. Mata kirinya berubah putih secara keseluruhan, kosong seperti cermin yang memantulkan kehampaan. Bahunya yang tadinya tegak memperlihatkan kepercayaan diri yang tinggi, kini membungkuk, menahan rasa sakit yang menjalar pada mata kirinya. Sementara seluruh tubuhnya tampak terseret oleh rasa sakit yang tak terlihat. Lyrion menggigit bibirnya, menahan jeritan yang terdengar samar, tubuhnya bergetar seolah setiap napasnya adalah perjuangan.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi di hadapanku. Melihatnya yang menahan rasa sakit yang tak tertahankan membuatku berusaha untuk membantunya. Namun, ketika aku melangkah tubuhku terhuyung dan terjatuh di depannya. Kebingungan kian menyelimutiku. Aku tak tahu bagaimana cara menghentikan rasa sakit Lyrion.
Di depan mataku, api mulai menjalar di sekitar tubuh Lyrion. Napasku tercekat begitu melihatnya. Jantungku berdegup dengan kencang melihat api yang muncul secara tiba-tiba, mengelilingi tubuhnya yang rapuh dan lemah. Api mulai menjalar tubuhnya dan membakarnya perlahan. Bayangan tubuh Lyrion yang terbakar itu menari di dalam kobaran api, seperti sosok yang terperangkap di antara kehidupan dan kematian. Tarian itu seolah menjadi raungan Lyrion. Aku ingin berteriak, tapi suaranya tertelan oleh raungan api yang semakin besar. Aku hanya bisa melihat, tak berdaya, saat Lyrion dilahap oleh api yang seolah akan membinasakannya.
“Lihatlah anak manusia! Lihatlah aku! Inilah yang kuinginkan, membakar semuanya, menyisakan abu dan menghancurkan seluruh isi Bumi. Kalian makhluk tak beradab pantas mendapatkan apa yang kalian tuai. Api ini adalah kutukan. Berasal dari sesuatu yang lebih tua, lebih gelap, dan lebih berkuasa. Ini bukan sekadar api yang membakar, melainkan keabadian yang terperangkap dalam rasa sakit.”
Sudut bibirnya terangkat, lalu menyeringai di balik kobaran api. Detik selanjutnya, ia menghilang, menyisakan diriku seorang.