Di taman rumah sakit yang sepi tempat Aluna mendapatkan perawatan ketika pingsan, Aluna dan Nero duduk berdampingan. Sama seperti ketika gadis itu bangun dari mimpinya, ia masih terlihat cemas. Bahkan terlihat dari matanya yang sulit fokus terhadap satu hal. Ia juga terkadang mengatur napasnya supaya lebih tenang, tapi hal itu tak berpengaruh padanya.
Nero yang melihat Aluna merasa tak karuan lantas bertanya apa yang mengganggu pikirannya saat ini. Ia tahu bahwa Aluna takut terhadap suatu hal yang mengerikan akan terjadi di masa depan. Tetapi, ia tak tahu pasti hal apa yang akan terjadi.
"Nero, kamu ingat laki-laki yang hampir saja melukai kamu?"
Nero terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
"Tadi, aku bermimpi tentangnya. Aku tak tahu apa yang sedang Lyrion alami, tapi aku yakin dia sedang merasakan rasa sakit yang tak bisa lagi ia bendung. Aku merasa yakin bahwa suatu saat yang dibendung olehnya akan meledak dan kita semua terkena imbasnya. Mungkin saja hal ini akan menimbulkan kehancuran bagi Bumi. Aku takut kita semua akan tiada karena dendam yang ia salurkan pada kehancuran. Aku memanggil Elias, untuk memberitahukan hal ini, tapi dia tak kunjung datang."
"Bolehkah aku berpendapat?" tanya Nero yang langsung disambut anggukan oleh Aluna. "Menurutku, mimpimu itu gambaran karena kamu stres, Aluna. Banyak sekali hal yang berkelebat di pikiranmu, sehingga hal yang kamu takutkan muncul dalam mimpimu. Tapi percayalah padaku, hal itu tidak akan terjadi jika kita terus berdoa pada Tuhan agar hal seperti yang kamu takutkan tak akan pernah terjadi."
Aluna terdiam, ia menunduk sembari mencerna pendapat dari Nero. Memang betul apa yang dikatakan oleh Nero. Saat ini banyak sekali hal-hal yang dipikirkan oleh Aluna. Bukan hanya satu persoalan saja seperti hubungannya dengan Nero, melainkan ada hal lain yang mengganggu pikirannya.
"Maaf, Aluna. Maafkan aku."
Gadis itu terdiam. Ia tak mengerti mengapa Nero tiba-tiba meminta maaf padanya. Padahal seharusnya Aluna yang berkata maaf padanya karena sudah membuatnya repot membantunya, itu pikirnya.
"Aku tidak tahu kondisimu separah itu, sampai-sampai kudengar kamu hampir tertabrak ketika aku memutuskan hubungan denganmu. Maafkan aku yang bersikap egois. Maaf karena aku tidak mau tahu apa yang sedang kamu perjuangkan saat ini. Maaf aku membutakan mataku sehingga tidak melihat di balik perbuatanmu. Maafkan aku, Aluna," ucapnya dengan suara yang bergetar.