Langit mendung ketika pria dengan wajah lusuh itu kembali dari tempat pamannya. Dia duduk dengan tenang di atas kereta kudanya, sementara beberapa prajurit dengan teratur mengganti posisi berjaganya. Di dalam keretanya, dia menghela napasnya dengan berat. Sedari tadi, dia tak bisa fokus. Kertas yang berisi anggaran pengeluaran keluarga Sanskara di tangannya tak bisa ia pahami walau ia terlah berusaha membacanya berkali-kali.
Pamannya bukanlah orang yang baik. Sama seperti manusia lainnya, pamannya juga termasuk tamak. Karena anggota tubuhnya yang tak lagi lengkap, pada akhirnya dia tak lebih baik dari para buruh pekerja. Dia dihina, diperlakukan dengan tidak hormat, dan dipermalukan oleh sepupunya ketika ia dengan tenang menunggu pamannya di ruang tamu hari ini.
Nama pemuda yang tak lagi memiliki semangat hidup itu adalah Sanskara Banyubiru. Nama kecil yang sedikit berbeda dari orang kebanyakan di zaman itu. Sejujurnya, Banyubiru telah mencoba menerima keadaannya yang baru setelah kembali dari medan perang. Semua orang awalnya menerima keadaannya. Tak apa, kata mereka dengan senyum hangat. Namun kian hari sifat asli mereka semua tersingkap. Tak lagi ada senyum itu.
Untuk orang cacat, begitulah Banyubiru memanggil dirinya, ekspektasi orang-orang tak bisa ia penuhi. Dirinya tak seperti dulu. Dia tak bisa berkeliling dengan mudah. Ke mana-mana harus memakai kursi roda. Dia tak pula melakukan apa pun dia mau. Yang bisa ia lakukan hanyalah memantau situasi dari kediamannya. Tanpa tahu kejadian di luar sana seperti apa. Seorang Sankara yang hobi bertarung sangat tidak menyukai situasi seperti ini.
“Jikalau Engkau ada, saya mohon. Tolong saya,” ucap Banyubiru lirih, mencoba memohon pada Tuhan. Suara itu lemah, menyiratkan keputusasaan yang pekat. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela kereta. Matanya kosong. Lantas suara hujan deras mulai terdengar. Bayangan kediaman Sanskara sudah mulai tampak. Embun telah terbentuk di jendela tempat Banyubiru bersandar.
Biasanya ketika seorang Sankara tiba, akan ada kepala pelayan dan beberapa pelayan menunggunya. Sekarang jika Banyubiru datang, hanya ada seorang pelayan yang menunggunya. Dia bertugas membantu Banyu dari belakang mendorong kursi rodanya. Banyu hanya akan memberikan perintah. Membiarkan orang menjadi tangan dan kakinya.
“Tuan, hamba telah menyiapkan pakaian ganti di kamar tuan. Apakah Tuan ingin berganti pakaian sekarang?” pelayan itu bertanya dengan wajah masamnya. Meski begitu dia tetap melakukan pekerjaannya. Banyubiru bisa langsung menebak bahwa pelayan ini merasa terhina jika melayani bangsawan yang cacat. Bayu menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangannya. Meminta pelayan itu meninggalkannya sendiri di kamarnya. Cukup lama Banyubiru mengurung diri di kamarnya. Kejadian kakinya yang telah ditebas pihak lawan itu memang sudah setahun lalu. Hanya saja ingatan itu tetap terputar berulang-ulang di kepalanya.
Banyubiru sadar, ayahnya yang merupakan jenderal kepercayaan raja, mempunyai anak lelaki yang kaki kanannya telah hilang sudah cukup untuk merusak reputasinya. Ditambah dengan fakta bahwa Banyubiru merupakan anak laki-laki tunggal, maka hancur sudah. Orang-orang akan terus berbisik di belakang ke manapun Banyubiru pergi. Seakan mereka lupa harga yang mereka dapatkan dengan kaki kanan Banyubiru.
Kondisi kaki Banyubiru tak semudah yang kamu semua bayangkan sebenarnya. Dengan wilayah kerajaan yang banyak didominasi laut, sebenarnya mudah untuk membuat kaki palsu ala bajak laut untuk Banyubiru. Ahli kayu terbaik bisa membuatnya. Jika kapal-kapal perang terbaik saja bisa dibuat, kaki kayu termasuk keahlian yang cukup mudah. Sayangnya, itu semua sia-sia karena Banyubiru tak bisa bergerak dengan bebas. Dengan mudah ia menjadi sasaran empuk nantinya.
Keluarga Sanskara memang kebanyakan memiliki fisik kuat, mampu menjadi pemimpin di kemiliteran. Posisi keluarga Sanskara yang menyebabkan Banyubiru tak langsung ‘dimusnahkan’ oleh orang kerajaan. Keluarga Sanskara juga yang terus menerus membawa kemenangan perang, sehingga sebagai balas budi raja menawarkan berbagai metode pengobatan pada Banyubiru.
Anggota badannya dari pinggang sampai bawah lumpuh, dan berbagai metode tak juga bisa menggerakkan kaki kirinya. Mulai dari ahli akupuntur dari daratan China sampai ke dukun paling sakti. Semua telah dicoba. Banyubiru semakin putus asa mengingat ini.
Hujan tak juga berhenti bahkan setelah pukul 12 malam. Banyubiru berkeliling dengan seorang penjaganya. Awalnya ia ingin berkeliling sendiri, tapi kondisinya membuat ia harus patuh dan tunduk. Dikarenakan hari hujan, Banyubiru harus puas dengan mengelilingi rumahnya yang besar itu.
Saat berkeliling, matanya menatap kedua kakinya. Masih teringat olehnya perkataan si ahli akupuntur itu. Dia bilang bahwa sebenarnya tak ada masalah apapun pada kaki Banyubiru. Semua syarafnya normal. Tak ada masalah. Kemudian Banyubiru mengalihkan pandangannya. Menatap lurus ke depan.
Dari posisinya sekarang yang berada di lorong, pohon tua yang berada di tengah lapangan tempat biasa prajurit berlatih menarik perhatiannya. Terpampang nyata pohon itu di jendela, sendiri di tengah lapangan. Jendela itu entah mengapa tak tertutup. Sebenarnya tak ada yang menarik untuk dilihat di sana.
Prajurit yang mendorong kursi roda Banyubiru sigap menutup jendela guna menghindari perikan air hujan yang mengenai Banyubiru. Melihat lapangan itu, sesuatu mengusik Banyubiru. Ia seperti dipanggil ke sana. Padahal Banyubiru tahu bahwa hanya ada lapangan kosong.
“Bawa aku ke pohon sana,” perintah itu terucap juga pada akhirnya dari bibir Banyubiru. Pikirannya hanya mengatakan bahwa tak akan ada masalah ke sana saat hujan. Prajurit itu awalnya menganggap Banyubiru bergurau. Namun, ia segera mengambil payung ketika melihat raut Banyubiru yang datar tanpa emosi.
Sementara prajurit itu mengambil payung, Banyubiru dengan tenang menunggu di tempatnya. Dari tempatnya mulai terdengar bunyi guntur. Tentu saja kilat menyertainya. Prajurit itu mengarahkan Banyubiru ke arah lapangan. Apa yang menyambut mereka hanyalah hujan deras.
“Tuan. Apakah ada yang Tuan cari di sini?” prajurit itu bertanya ragu-ragu. Dia tahu persis bagaimana tempramen tuannya ketika berada di kediaman Sanskara. Sangat buruk. Mendengar pertanyaan itu, Banyubiru terdiam. Dia sendiri bingung mengapa ia kemari.
“Sepertinya aku lelah. Cuaca sekarang tak mendukung untuk ke sana. Ayo kembali,” Banyubiru bingung. Prajurit memutar arah kursi roda Banyubiru. Ketika posisi mereka sempurna membelakangi lapangan, cahaya kilat itu muncul. Kurang dari satu detik, tapi cukup terang untuk mengejutkan mereka berdua. Banyubiru mengintip apa yang terjadi di lapangan. Bersiap dengan petir yang akan menyambar.