Ruang tamu itu tampak redup meski pagi mulai menyapa hari itu. Perlahan pria dengan sebutan Bapak Orde Baru itu melipat koran-koran yang dibacanya pagi itu. Ia menghela napasnya dan kemudian meneguk secangkir kopi di meja tampak beberpaa jagung dan ubi rebus kesukannya telah dihidangkan.
“Bapak sudah makan? Pagi-pagi ngopi lagi?” sapa putri tertuanya yang seluruh Indonesia mengenalnya dengan panggilan Mbak Tutut itu.
“Sudah, kamu cepat sekali singgah? Ada acarakah sepagi ini?”
“Biasa urusan yang kemaren saya ceritakan itu Pak. Bapak habis baca koran lagi? Bukankah saya sudah bilang agar Bapak mengurangi baca koran untuk kesehatan?”
“Menurutmu Bapakmu ini bisa bernapas dengan tenang melihat semua yang tengah terjadi Ndok?”
“Saya tahu Pak, negeri ini mengalami masa yang sulit sejak akhir tahun lalu. Kalau saja krisis ini bisa kita atasi, namun sayang semua usaha telah dicoba namun Gusti Allah tampaknya berkehendak lain.”
“Tidakkah Ndok menurutmu sudah waktunya Bapakmu ini mangkat? Bapak rasa ibumu disana juga sudah tak sabar ingin bertemu.”
“Pak, semua adalah kehendak Allah, amanah ini juga Bapak emban karena Allah namun saat masalah besar menimpa negeri ini tentu Bapak yang bertanggung jawab dimata semua orang karena Bapak presidennya. Padahal sekali lagi krisis moneter yang dimulai akhir tahun lalu juga tidak bis diprediksi akan memghancurkan seluruh sektor prekonomian kita dan membuat nilai tukar rupiah terperosok jauh begini.”
Pria yang tak lain adalah Presiden Republik Indonesia itupun berdiri lantas berjalan melihat ke luar dari jendela ruang tamu kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta itu
“Namun apa semua masyarakat akan mengerti dengan penjelasanmu Ndok, Bapak gagal memyelamatkan bangsa Indonesia ini yang aku perjuangkan puluhan tahun menghadapi badai krisis moneter yang sebenrnua juga melanda hampir seluruh negara terutama di Asia Tenggara.” Lantas lelaki yang tak lagi bisa disebut muda itu menggigit cerutu kecilnya.
“Apakah dirimu lupa Ndok apa yang Bapakmu selalu bilang sejak kecil? Kebanyakan manusia hanya ingin meyakini apa yang mereka ingin yakini dan menolak kebenaran serta enggan mencari lebih dalam tentang sesuatu hal.”
Mbak Tutut menatap cemas bapaknya itu. Ia tahu saat bapaknya menggigit cerutu kecil pertanda moodnya dengan tidak baik, kepalanya sedang dipenuhi oleh beban memikirkan nasib bangsa ini kedepannya.
Lantas sebagai seorang putri yang paling dekat Mbak Tutut mendekati bapaknya itu.
“Dan Bapak lupa jikalaupun seluruh dunia memandang dan menganggap serta menuduh kita salah bukankah hanya Gusti Allah yang Maha Tahu akan segala sesuatu. Krisis ini, kegagalan ini bukanlah keinginan Bapak namun murni jalan yang harus dilalui Bangsa ini sebagai satu fase menuju masa yang akan datang.”
“Dan di masa depan nanti Ndok, Bapakmu ini mungkin sudah tak lagi bisa melihat bagaimana jalannya keadaan Indonesia ini.”
“Perkara hidup dan mati adalah murni takdir Allah dan kuasaNya, namun saya yakin semua orang punya baik dan buruk, kurang lebihnya begitupun Bapak memimpin negeri ini, dimata saya dan adik-adik serta semua keluarga besar dan yang nengenal Bapak dengan dekat kami tahu jauh di dalam hati Bapakpun tak ingin kondisi negeri ini menjadi tak kerkendali begini bukan?”
“Maka cukuplah Dia yang akan menjadi hakim yang paling adil akhirnya dan biarlah apa yang telah digariskanNya akan berjalan sesuai keinginanNya.”
“Dan kini Bapak sarapanlah dulu. Saya singgah nanti sore lagi.”
Pria itu mengangguk dan putrinya itu menyalimnya. “Jangan menanggung beban seluruh dunia di pundak Bapak, apa yang telah Bapak lakukan adalah sebisa kemampuan Bapak.”
Setelah putrinya pergi pria itu melihat langit biru di atas sana, namun dalam bayangannya jeritan dan tangisan semua orang tampak bak mimpi buruk yang memghantuinya bahkan saat ia terjaga seperti saat ini.
“Tampaknya beban ini tak akan lagi aku sanggup pukul lebih lama,” ucapnya dan kembali duduk.
Di koran yang dibacanya tadi terlihat berita PHK dimana-mana dan mulai terdengar suara-suara pilu nyanyian mereka yang menjerit menghadapi krisis moneter yang tak mengenal lawan dan kawan itu.
Kondisi bangsa Indonesia yang tak dalam keadaan baik-baik saja dirasakan oleh semua pihak tanpa pengecualian, baik di desa maupun di kota baik yang sudah pubya pekerjaan maaupun belum dan semakin bertambahnya jumlah angka kemisjinan serta pengangguran di Indonesia yang memperburuk kondisi bangsa.
Kondisi ini juga menambah angka kriminaslitas, giji buruk dan juga beragam macam persoalan di masayarakat sebagai imbas kondisi ekonomi negeri.
*****
“Papa sudah pulang?' tanya Elang saat melihat papanya menonton televisi.
“Sudah, kamu koq cepat pulang? Dosennya gak masuk apa?” Ia melihat jam dinding masih pukul 5 sore.
Elang duduk tak jauh darinya.
“Satu mata kuliah diganti lusa dosennya ada urusan penting katanya. Bapak melihat berita?”
“Iya, biasa PHK lagi, beginilah sekarang setiap buka tivi ada berita sedih lagi.”
“Apa tak ada jalan keluar dari krisis ini Pak?”
“Katanya menteri ekonomi mau meminjam ke IMF Bank dunia namun ditolak atau ditunda atau belum bisa keluar dan akhirnya ya begini, kondisi semakin tak terkendali.”
“Pasti tugas menjadi menteri dan Presiden itu tak mudah ya Pak Harto pasti tiap hari mendengar hujatan dan cacian untuknya.”
“Begitulah resiko menjadi seorang pimpinan negara Lang, harus siap dipandang salah, harus pasang badan harus siap mengundurkan diri jika tak mampu dan komoeten lagi.”
Elangpun mengangguk, tak lama mamanya datang dan membawakan teh.
“Wah serius sekali mengobrolnya bahas apa lagi? Apa krismon lagi? Kamu tahu Lang tiap hari di warung semua mengeluh harga cabai naik, gaji ditunda atau PHKlah, miris banget dengarnya. Bertahan melewati tahun ini sangat berat semoga Allah menguatkan semua orang.”
Elang meneguk teh buatan mamanya. “Makasih Ma, enak.”
“Hmm ... buatan siapa dulu?”
“Mamanya Elang kan?” Elangpun tertawa.
“Namun Pa, apakah beliau itu Pak Harto benera akan mundur kali ini?”
“Kita lihat saja kalian kan akan menjadi pemicunya nanti. Bukankah kata Frankie bila ssmua mahasiswa di Indonesia turun ke jalan, beliau mau tak mau harus mengalah agar menghentikan demo yang tentu semakin merugikan. Pak Harto tampaknya tak punya banyak pilihan.”