Jakarta diguyur hujan sejak tadi, seorang pemuda berlari mengejar angkot yang melaju tak menghiraukannya.
“Ya ampun. Bagaimana ini?”
Akhirnya pemuda itu kembali menunggu di halte, jaket yang dikenakannya basah sudah terkena hujan. Berkali ia melihat arloji di tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, padahal ia sengaja berangkat cepat agar tidak terlambat di matkul pertamanya sebagai mahasiswa, namun takdir berkehendak lain.
Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depannya. Seorang pemuda yang memakai helm hitam itu membuka kaca helmnya.
“Kamu anak Trisakti kelas A tahun ajaran baru jurusan Arsitektur kan yang kemarin?”
“Eh iya, Frankie bukan?”
“Nah iya kamu Elang kan?”
Elangpun mengangguk.
“Nunggu angkot?”
“Iya tadi terlewat.”
“Yasudah aku bonceng hayuk.” Frankie melemparkan jas hujan di ranselnya dengan cepat Elang memakainya.
“Kita berangkat ....”
Begitulah semua bermula hubungan persahabatan baik antara Elang dan Frankie. Keduanya lantas bertukar nomor untuk mempermudah komunikasi mereka.
“Elang aku boleh main ke rumahmu? Mama dan papaku gak ada di rumah. Boleh ya?” tanya Frankie suatu hari.
“Sebentar aku telepon mamaku dulu.”
“Oke.”
Elang menghubungi mamanya di rumah.
[“Ma, teman Elang si Frankie yang sering Elang ceritain mau main ke rumah boleh ya?”]
[“Ya tentu boleh Nak, ajak aja mama udah masak nih, nanti biar makan di rumah.”]
[“Ok sip.”]
Elang menutup telepon dan memukul pundak Frankie pelan.
“Eh gimana? Boleh gak?”
“Aman, kata mama silakan aja mamaku udah masak enak nih, nanti makan saja di rumahku.”
“Wahh mamamu pengertian betul. Yaudah nanti setelah jam ini selesai ya?”
“Siap.”
Sore itu pertama kalinya Frankie bertandang ke rumah Elang, rumah sederhana disebuah gang di Tanggerang. Jauh dari kata mewah namun cukup terjaga. Saat mereka tiba mamanya Elang sedang mengangkat jemuran.
“Ini pasti Frankie kan?”
Frankie segera menyalim mamanya Elang.
“Benar Tante.”
“Ya sudah Lang, ajak masuk makan dulu sana baru rehat.”
“Iya Ma, ayo Frankie.”
Rumah Elang tentu berbeda dengan Frankie yang berasal dari keluarga berada, hanya semua perabotan ditata dengan rapi di rumah itu.
“Dingin di rumahmu ya,” seru Frankie.
“Karena sedikit jauh dari jalan utama kan?”
“Iya sepertinya ya.”
Elang bergegas ke belakang dan tak lama memanggil Frankie.
“Aiss, enaknya masakan mamamu, mamaku selalu sibuk, kadang si mbak yang masak kadang aku.”
“Udah kapan kau mau merasakan masakan mamaku singgah aja kesini.”
“Serius nih? Ahh kau ini aku kan jadi segan.”
“Udah ayo makan.”
Dengan lahap Frankie menikmati sajian yang sudah disiapkan oleh mamanya Elang. Ia yang jarang merasakan masakan mamanya sampai tambah.
“Udah gak usah malu-malu ambil aja lagi, bagian papa, kakakku dan adikku udah dipisah koq.”
Tak lama adik Elang, Awanggapun masuk usianya terpaut cukup jauh dengannya.
“Eh ada teman Abang ya?”
“Ini adikmu?'
Elang mengangguk. “Ayo salim ini Bang Frankie teman sekelas Abang di kampus.”
“Wahh ayo Bang yang banyak makannya kalau gak mamaku bisa marah,” goda adiknya Elang.
Frankie hampir tersedat jadinya.
“Serius?” tanyanya dengan mulut penuh makanan. Elang dan adiknya hanya tertawa.
“Mama memang lebih senang jika tamu banyak makan, kalau kau sering main kesini kau akan bertambah gemuk nanti. Haha.”
“Baiknya mamamu Lang, aku jadi terharu.”
“Dihabiskan dulu itu.”
Selesai makan Elang mengajak Frankie melihat keadaan tempat tinggal sekitar Elang. Perumahan disana cukup padat dan jalan hanya muat untuk satu mobil saja.
“Jadi kau kenal semua orang?” tanya Frankie lagi, sebab dari tadi Elang terus menyapa semua yang dilihatnya.
“Kalau tinggal di area begini sih pasti kebanyakan kita kenal karena sering berbaur satu dengan yang lain, kalau kau?”
“Kami kan beda, aku hanya tau tetangga kanan dan kiri juga depan itu saja karena sering lihat, yang lain tidak. Kami juga kalau arisan hanya keluarga dan kolega mama dan papa.”
“Pasti rumahmu besar ya?”
“Tidak juga hanya tingkat, bisnis papa dan mama memang lagi naik daun makany mereka jarang di rumah.”
“Kau pasti kesepian.”
“Ada adikku cewek satu SMA tapi dia jarang keluar kamar dan kalau ke luar selalu pergi bareng teman ceweknya, aku dan dia jarang ngobrol seperti kau dan adikmu yang tampak santai itu.”
“Apa tidak sebaiknya kau mulai mendekatkan diri dengan adikmu itu?”
“Aku juga maunya gitu, mungkin kadang dia memilih mengurung diri atau keluyuran karena suntuk di rumah tak ada mama dan papa jujur kami memang kecewa. Oh ya bagaiman papa dan kakakmu?”
“Mereka yang sedikit jarang bicara, kakakku bekerja jadi pulangnya sore atau malam, papa juga begitu namun kadang aku dan mereka masih mengobrol, mama juga kami sebisa mungkin berkumpul saat sarapan ataupun makan malam.”
“Nah begitu kan? Kapan ya kami bisa begitu?”
“Semoga segera ya.”
“Thanks Bro. Oh ya kau sudah siap tugas untuk lusa?”
“Mau aku kerjakan malam ini, kau menginap di rumah?”
“Bolehkah?”
“Telepon dulu mama dan papamu sana.”
“Oke, tapi mama dan papamu?”
“Nanti aku bilang.”
Setelah asyik berjalan santai dan mengobrol mereka memutuskan melihat anak-anak yang bermain bola dan menikmati es.
“Wahh kampungmu benar-benar enak, aku harus sering main nih.”
“Singgahlah kapan saja Frankie, anggap rumahmu sendiri kita kan teman.”
“Thanks Bro.”
*****
Malam itu Frankie diizinkan menginap di rumah Elang.