Elang & Tragedi Trisakti 98

Siska Indah Sari
Chapter #7

Rapat Senat Trisakti


Langit tampak cerah pagi ini sementara ruangan berukuran delapan kali delapan itu tampak sudah tertata rapi. Lantas satu per satu anggota senat memasuki ruangan. Hari ini mereka mwngadakan agenda rapat besar dan mengumpulkan semua perwakilan mahasiswa jurusan.

Seorang mahasiswa duduk di bangku terdepan. Dialah ketua Senat Universitas Trisakti. Dari raut wajahnya ia tampak tenang meski menyimpan banyak pikiran.

“Bisa kita mulai?”

“Silakan ketua,” sahut yang lainnya.

“Baiklah sesuai agenda kita akan membahas tertib acara long march kita untuk minggu depan. Disini sekretaris telah membuat usulan acara namun kita masih bisa mendiskusikan untuk beberapa perubahan. Silakan Dian.”

“Terima kasih ketua. Agenda yang disusun oleh ketua adalah pengibaran merah putih. Doa bersama, orasi gabungan, dan barulah kita bergerak ke seenayan. Bagaimaa menurut kalian?” 

Diantara para mahasiswa seseroang mengamgkat tangannya.

“Apakah akan ada orasi dari perwakilan setiap fakultas atau hanya kita saja yang menentukan. Lanta sudahkah ada daftat nama dosen yang akan berorasi dan mendampingi kita? Ataukah para Dekan sendiri yang akan turun tangan?”

“Baiklah, terima kasih pertanyaanya. Untuk yang akan berorasi nanti saya rasa kita saja yang menentukan. Kita sepakati siapa saja yang akan berbicara. Sementara untuk dosen, beberapa dekan bersedia ikut berorasi dan mendampingi kita long march. Karena acara ini hanya berlangsung satu harian. Semoga semua berjalan lancar.”

“Begitu, baiklah jika disepakati demikian. Oh ya untuk isi orasi apa sajakah tuntutan utama kita? Apakah ada perubahan atau masih demgan tujuan utama seperti yang diprakarsai oleh kampus yang lain sebelumnya?”

“Untuk isi masih sama kita tetap dengan tujuan utama. Menggulingkan Pak Harto dari kursi RI 1 dan menghentikan kelanjutan orde baru berkuasa di negeri ini sebab telah gagal menyelesaikan masalah pelik krisis moneter dan melakukan praktik korupsi.”

“Ketua, apakah kali ini desakan kita akan sampai ke telinga mantan tentara itu?”

“Kita coba saja, kita tak pernah tahu. Namun satu yang selalu menjadi perhatianku.”

Semua yang ada disana menunggu pemuda itu melanjutkan ucapannya.

“Adalah saat kita bersinggungan dengan aparat. Saat ini terjadi kita tahu sendiri tema -teman kita satu kampus adalah berharga. Setiap dari mereka adalah tanggung jawab kita. Jika terjadi sesuatu maka itu akan meninggalkan duka mendalam bagi kampus.”

“Ketua mengkhawatirkan hal itu?”

Sang ketua senat mengangguk.

“Nyawa memang selalu siap kita korbankan untuk bumi pertiwi namun dengan harapan bahwa tujuan mulia terwujud nyata. Bila diantara kita terkena sesuatu dan syahid, itu anugerah buat kita, namun jika teman kita, ini akan menjadi tragedi berdarah, aku hanya tak sanggup menatap wajah orang tua yang kehilangan anaknya nanti.”

Semua yang ada disana langsung menunduk. Mereka tahu kehilangan adalah momok berat bagi semua orang.

“Namun ketua, aku yakin saat mereka beegabung untuk demo, mereka telah mendapat izin dan orang tua mereka tahu anaknya berjuang menuntut perbaikan sistem pemerintahan di negeei ini,” tutur seoramg mahasiswi disana.

“Kak Latifah benar. Maka mulai esok kita akan menyebarkan imbauan kepada semua mahasiswa untuk meminta doa restu kepada orang tua mereka. Dan kita harap hal buruk akan terhindar. Semoga Allah senantiasa mwnjaga kita semua di hari H nanti.”

“Aamiin.” 

“Baiklah adakah hal lain yang ingin ditanyakan?”

“Mengenai atribut ketua, selain bendera fakultas apakah semua teman-teman kita boleh membawa sendiri dari rumah atau kita siapkan?”

“Akan lebih baik kita siapkan juga, namun kita umumkan jika merema mau membuat sendiri itu lebih baik untu menambah.”

“Baiklah kalau begitu saya setuju.”

“Baiklah, untuk jamnya akan segera saya atur lagi dan kita rapat akhir dua hari sebelum hari H.”

“Setuju.”

“Saya tutup sidang rapat kita hari ini. Terima kasih untuk perhatiannya.”

*****

Satu per satu selebaran pengumuman terkait orasi disebar ke semua mading di kampus Trisakti. Elang dan Frankie terpana memandangi kertas bertuliskan seruan untuk bersuara.

“Ini sudah menjadi seruan wajib kan?” Komentar Elang.

“Ini harga mati Bung, dulu para pemuda bersuara hingga menghasilkan hari sumpah pemuda dan kita generasi kini melanjutkan cita-cita mulia dengan bersuara pula.”

“Imi memang harga mati Frankie, pria itu sudah waktunya mundur dan menikmati masa tuanya. Bukankah kita juga melakukan kebaikan dengan memberinya masa tua yang tenang bersama cucu-cucunya dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta?”

“Ucapanmu sangat manis namun sinis, tapi aku setuju kawan, biarlah beliau menikmati masa pensiunnya, sudah terlalu lama juga ia bekerja buat negara ini. Masanya yang muda menggantikan jejaknya. Semoga masa depan bangsa ini adalah beesinar seperti mimpi para pendahulunya dan pendahulu kita.”

“Aku tahu beban itu memang tak mudah, semoga siapapun penggantinya bisa membantu menyelesaikan masalah negeri ini.”

“Bukankah dalam undang-undang dasar 1946 disebutkan jika Presiden mangkat atau berhenti atau diberhentikan akan digantikan oleh wakil Presiden.”

“Akan seperti apa Indonesia dibawah ilmuan yang mengenyam studi di Jerman itu ya?”

“Kita lihat saja nanti. Bukankah beliau jenius, aku rasa ini akan menjadi tahun berat bagi ketua MPR kita yang terhormat.”

“Itulah swbabnya beliau menjadi perwakilan kita disana bukan?”

“Benar, mereka harus siap dengan apa yang amanah di pundak mereka, sebab itu tanggung jawab mereka.”

“Kelak ssmua akan dimintai peetanggung jawaban. Tugss pemimpin itu amat berat hisabnya apalagi pemimpin negara yang tak menengok nasib rakyatnya.”

“Pak Harto berada di ujung masa kekuasaannya sudah. Jika jadi Beliau aku sudah lama mundur. Aku tahu menghadapi krismon bukan hal gampang.”

“Beliau pasti lebih tahu alasannya. Semoga setslah semua ini beliau lebih bijak dan mengalah serta sadar bahwa rakyat sudah enggan memilikinya sebagai pemimpin, rakyat butuh perubahan, rakyat butuh pemimpin baru untuk menuntaskan semua problema di negeri ini.”

“Semoga saja begitu.”

Kedua pemuda itu segera melanjutkan langkah mereka sembari menatap pepohonan di sekeliling kampus. Dan langit siang itu begitu cerah.

“Bahkan langit seakan akan menjawab doa kita semua,” ucap Elang dan tersenyum. Framkie berlari mengejar langkah sabatnya itu.

Lihat selengkapnya