Hari ini Elang pulang lebih cepat dari kampus. Ia tidak diantar Frankie karena pemuda itu sedang terburu untuk menemani adiknya untuk mencari buku keperluan sekolahnya.
“Tak apa pulang sendiri?” tanya Frankie di parkiran sebelum mengengkol motornya.
“Aman. Sana pergilah adikmu pasti sudah menunggu. Dia pasti merasa semakin dekat denganmu karenanya ia memintamu menemaninya. Oh ya mama kemarin beetanya kapan kau akan meningap, aku sudah bilang lusa.”
“Nah tante memang luar biasa, aku juga sudah rindu masakan buatannya. Ya sudah ku berhati-hatilah tisan ke tante, om dan adikmu di nakal Awangga itu.” Pemuda itu tersenyum kekeh setiap kali mengingar adik Elang yang banyak tanya namun kadang sangat polos. Tak jarang saat ia menginap di rumah Elang ada saja pertanyaan yang dilontarkan anak kecil itu dan fakta menarik tentang dunia kanak-kanak.
“Baiklah, nanti aku sampaikan. Ia sedang sibuk mau ujian juga katanya. Aku bahkan gak bisa menyuruhnya ke warung untuk membeli telur sangking fokusnya ia belajar.”
“Benarkah? Ternyata dia rajin juga kalau serius. Aku kira karena mamamu sering memintanya belajar agar jadi pintar sepertimu ia jadi merasa dibandingkan. Maaf aku tak bermaksud membahas ini.”
“Nah itu juga yang kadang aku bilang ke mama, semua anak ada saja bakatnya dan tak bisa menyamaratakan kemampuan anak. Mungkin kini mama jauh lebih longgar, toh Awangga juga sekaramg lebih banyak main di dalam rumah dan tidak pulang saat maghrib lagi.”
“Aku senang mendengar perkembangannya, melihat adik-adik kita menjadi lebih baik kita jadi bahagia sebagai kakak bukan? Oh ya nih adikku dah kirim sms aku duluan yo.”
Frankie segera mengengkol motor dan berlalu. “Assalamualaikum?”
“Waalaikummussalam hati-hati.”
Saat Elang hendak keluar melewati pagar ia melihat Jehan menaiki sebuah taksi, namun gadis itu juga melijatnya dan menurunkan kaca.
“Aku duluan. Oh ya jangan lupa ultahku seminggu lebih lagi,” seru Jehan dan melambai.
“InsyaAllah.” Seperti biasa Elang hanya tersenyum meski ia amat mengaumi Jehan sejak lama, gadis itu tampak berasal dari keluarga berada namun tak menjadikannya sombong. Belum lagi Jehan itu cerdas dan Elang sering melihatnya sholat Dzuhur di Mushola fakultas. Ia semakin sadar Jehan pantas untuk dikagumi dalam diam, sebab imannya memaksanya untuk memundukkan nafsunya
Pemuda itu segera menuju halte yang tak jauh dari kampusnya dan menunggu beberapa menit disana. Ia memandamgi kota Jakarta senggang di jam makan siang itu. Mentari dengan teriknya masih membakar kerongkongan Elang. Alhasil Elang memilih menuntaskan dahaga dengan membeli es yang tak jauh dari tempat ia duduk.
“Baru pulang Dek?” tanya penjual es itu saat melihat tampilannya.
“Iya Pak.”
“Ngampus di Trisakti kan?”
“Iya Pak. Baru pulang.”
“Ohh, mahasiswanya banyak ya kampus kalian. Kadang bapak banyak yang beli saat siang.”
“Iya Pak, lumayan banyaklah untuk menuhi jalan ini kenapa?”
“Tidak, beruntung adek bisa kuliah, anak bapaj di rumah pada tamat SMP gak ada biaya lanjut sekolah jadi ya kerja di sawah.”
“Alhamdulilah Pak, sekarang memang lagi sulit semuanya. Untungnya papa saya masih bekerja.”
“Nah itu benar, Indonesia ini kapan ya majunya, yang miskin semakin miskin dan kere yang kaya makin kaya dan tajir melintir. Kita ini dibawah ke bapak bertahan makan saja syukur. Adek jurusan apa?”
“Iya Pak, semoga kedepannya Indonesia menjadi lebih baik. Saya jurusan arsitektur Pak.”
“Wah, jago gambar dong. Itu kan jurusan yang merancang gedung-gedung besar?”
Elang mengangguk.
“Alhamdulilah bisa sedikit Pak, ia yang itu,” jelas Elang. Saat itulah angkot jurusan ke Tanggerang lewat. Elang segera menyetopnya. “Bentar ya Pak.”
Lantas ia berlari membayar esnya tadi. “Ambil saja kembaliannya Pak,” serunya dan berlari menaiki angkot itu.
“Makasih Dek,” teriak bapak tadi. Ia menaruh uang itu dikepalanya dan bersyukur. “Mahasiswa apa semuanya sopan begitu ya?”
Sementara Elang merogo sakunya hanya tersisa uang untuk ongkosnya saat ini, namun ia merasa lega karena bisa membantu bapak penjual es tadi seperti yang biasa diajarkan oleh papa dan mamamya selama ini.
Semoga bisa membantu meski hanya sedikit. Doanya dalam hati. Ia merasa prihatin dengan kondisi di sekitarnya saat ini, namun ia tak bisa berbuat banyak.
Sesampainya di rumah mamanya sudah menyambutnya dengan senyuman ramahnya yamg membuatny begitu bersyukur terlahir sebagai putranya Tetty, ibundanya tercinta.
“Elang kangen Ma, hehe,” serunya saat menyalim.
“Ih Elang mah sok romantis, sudah mandi sana baru makan nanti gih. Oh ya dengaren pulang cepat?”
“Iya Dosennya ada urusan, tetapi ada tugas. Elang nanti sore mau ke lapangan saja mencari ilham.”
“Lapangan?” Tetty ingat jika berkata ilham dan lapangan berarti anaknya akan melakukan hobi lamanya yang amat digemarinya dan sudah lama jarang dia sentuh karena sibuk kuliah. “Mau melukis Nak? Udah lama?”
“Iya Ma, Elang lihat catnya semakin mengering dan ada kanvas yang nganggur. Mau cari ide dan menghabiskan waktu luang sore nanti. Tapi Elang mau tidur siang dulu.”
“Wahh, mama penasaran sama lukisan kamu nanti, kira-kira apa ya?” Tetty menatap beberapa lukisan Elang yang dipajang di rumahnya itu. “Apakah manusia atau hewan atau pemandangan?”
“Lihat saja nanti Ma, belum ada ide. Elang mandi dulu, penat sungguh.”
“Oh ya sudah mandilah, mama siapkan makan siangmu di meja ya?”
Elang segera memeluk mamanya itu.
“Makasih Ma, Mama terdebest top pokoknya.”
“Udah sana mandi dulu. Bau ini,” kekeh mamanya.
“Siap Bos.”
*****
Suasana jalanan tampak senggang saat Elang menapaki jalan menuju ke lapangan dimana Elang biasa menghabiskan waktu melukis. Pemuda itu tersenyum setiap kali disapa.
“Mau melukis Bang?” tanya seorang pemuda yang tak lain adik kelasnya dulu di sekolah sewaktu SMA.
“Iya, eh apa kabar Jaka?” tegurnya.
“Baik Bang, wah gimana kuliahnya lancar?”
“Alhamdulilah lancar abang dengar kau pindah ke Bandung bukan?”
“Iya kuliah disana, ini ada urusan jadi pulang kampung dulu.”
“Oh Bandung pasti menyenangkan ya? Jadi ingat main kesana sewaktu SMA dulu.”
“Kapan-kapan mainlah Bang, nanti aku aja keliling kampusku.”
“Kalau ada umur panjang dan rezeki insyaAllah.”
“Kalau gitu Jaka duluan ya Bang. Assalamualaikum.”
“Waalaikummussalam.”
Setelahnya Elang melihat lapangan yang masih senggang namun tetap ada beberapa anak sedang asyik bermain bola. Elang duduk di bawah sebuah pohon dan menyiapkan perlengkapan melukisnya. Langit sore tampak indah berpadu dengan padang rerumputan tipis di lapangan yang biasa dijadikan anak-anak disana sebagai area bermain.
Perlahan digoreskannya cat warna untuk dasar lukisannya. Ia memandangi langit setelah sebelumnya ia berdoa lebih dulu.
Apa yang paling pas untuk situasi saat ini? Pikirnya.
“Apakah kehidupan yang semrawut atau harapan akan masa depan yang lebih baik?”