Suharto duduk di ruang tengah saat Mbak Tutut masuk ke dalam kediaman cendana.
“Bapak sudah makan siang?”
“Sudah tadi, kamu apa nggak sibuk Ndok?”
“Saya mengkhawatirkan Bapak.”
“Apa karena situasi saat ini? Sudahlah mau begimana juga kita tamppaknya tak bisa menghindar Ndok.”
“Lantas Bapa pasrah saja dengan tuntutan mereka itu? Saya tetap tak bisa Pak.”
Mbak Tutut duduk di samping bapaknya itu.
“Jalan ini tak bsia dihindari. Sitausi semakin tak terkendali saat ini Ndok.
“Aneh Pak. Ini aneh kenapa bisa begini dan itu juga para mahasiswa. Heran saya kadang. Apa mau mereka. Mereka itu koq bukannya belajar malah turun ke jalan? Merusak gerbang gedung MPR dan fasilitas umum? Itukan salah Pak.”
“Kamu gak tahu Ndok, itu tandanya mereka marah, murka, kecewa dengan bapakmu ini dan sistem yang dia jalankan selama ini. Mereka ingin bapakmu mangkat itu saja.”
“Lalu apa beliau sudah bersedia kalau Bapak mangkat?”
“Entahlah Bapak juga tak tahu itu. Namun bapak akan membicarakan ini dengan yang lainnya lagi sebelum semua semakin buruk.”
“Apa menurut Baapak akan ada yang lebih buruk dari ini? Bahkan telah terjadi beberapa penjarahan sekarang Pak. Mengerikan negeri ini.”
“Mereka hanya mau bapakmu mundur itu saja tuntutan mereka.”
“Mereka juga meminta hal lain, saya tahu itu Pak, ada beberapa tuntutan lainnya.”
“Hal wajah Ndok, mereka hanya merasa itu solusi terbaik, sebab bapakmu sudah tak lagi mampu memberikan solusi apapun kini atas nasib bangsa Indonesia.”
Lelaki itu kini berdiri dan menatap langit-langit kediamannya.
“Yang pastinya semua akan berubah setelah bapakmu beehenti sebagai Presiden Ndok.”
“Saya tetap belum bisa menerima ini semua sampai kapanpun Pak. Saya kasihan sama Bapak, saya tahu Bapak berada dalam dilema besar.”
“Itulah risiko menjadi pemimpin Ndok, dibenci, dimaki, dihujat, disalahkan. Bapak hanya berharap tak ada kejadian yang semakin memperparah semua ini kelak.”
“Apa Bapak punya firasat buruk?”
“Entahlah, bapak nggak bisa tidur akhir-akhir ini, seakan hal buruk akan terjadi di depan.”
“Ya Allah apa lagi ini,” tanya Mbak Tutut.
“Hal yang mestinya terjadi pasti akan terjadi Ndok, meski kita berusaha menghindarinya sekuat mungkin. Inilah kehidupan sebenarnya.”
Mbak Tutut masih belum percaya bapaknya tampak lebih legowo meski ia kini memghadapi banyak tekanan dan tuntutan dari mana-mana belum lagi kondisi kesehatannya yang sering drop karena usianya, namun daya pikir lelaki itu masih tetap jernih memahami banyak hal sama seperti saat ia masih muda dulu.
“Entah mengapa saya hanya tak ridho Pak.” Kini Mbak Tutut menghapus air matanya yang mulai luruh.
“Jangan menangis Ndok, kita sudah telalu lama hidup enak, kita hanya kehilangan kekuasaan bukan kehilangan Allah kan?”
“Di usia Bapak seperti ini mestinya Bapak hidup memerintah dengan nyaman namun hal itu tidak terwujud.”
“Bapakmu ini masih bisa kan melihat cucu dan cicitnya tumbuh dan bermain di halaman. Hidup masih harus terus berjalan apapun yang akan terjadi, dan bapakmu ini harus siap. Selalu siap. Kita manusia diminta untuk iklas menjalani semua bagian dengan sangat iklas, begitulah baru Sang Gusti Allah meridhoi kehidupan kita ini.”
“Sebuah kehidupan yang penuh perjuangan namun posisi itu harus diiklaskan dan direlakan begitu saja. Saya belum dapat menelaahnya dengan baik.”
“Jangan protes Ndok, ini sudah jalannya. Kita terima saja.”
“Meskipun ini tak bisa diterima dengan legowo Pak?”
Suharto hanya diam dan enggan menjawab ia tahu membuat putri tertuanya itu menyerah dan mengalah serta legowo memang bukan tugas mudah.
“Sekarang pulanglah Ndok, atau engkau mau menginap malam ini di rumah?”
“Saya pamit dulu Pak, esok pagi saya singgah lagi. Assalamualaikum.”
Mbak Tutut segera menyalim bapaknya itu dan kemudian pergi. Sementara selanjutnya Suharto segera kembali ke kamarnya meski ia masih tak bisa memejamkan mata melihat morat maritnya kondisi negara yang dipimpin olehnya kini.
Kalau saja kamu masih ada disini Buk. Batinnya mengingat mendiang isterinya tercinta yang selalu menguatkannya.
*****
“Papamu koq belum pulang ya Lang? Sudah malam begini?” tanya Tetty yang mondar-mandir di depan teras sejak tadi.
“Mungkin sebentar lagi, coba hubungi lagi,” sahut Elang yang jug mulai khawatir terlebih dengan kondisi yang kurang kondusif saat ini.
“Sudah tapi belum menyambung sejak tadi, mama takut Nak, Elang tahu kan sekarang lagi musim penjarahan dan situasi ibukota sedang tidak aman terlebih makin gencarnya demo dimana-mana dan gelombang PHK. Mama takut papamu terjebak macet atau kena celaka di jalan.”
“Mama jangan berpikir jelek begitu kita tunggu saja dulu. Elang akan jalan ke depan gang untuk menunggu papa disana. Mama di rumah saja. Kalau tak ada juga Elang pinjam motor tetangga mencari papa.”
“Yasudah cepat sana Nak.”
Elang segera meminjam motor tetangganya dan syukurnya diberi. Segera ia melaju menuju tempat kerja papanya. Saat ia tiba disana kondisi sudah gelap dan semua karyawan sudah pulang.
“Maaf Pak, apa ada yang lembur malam ini?” tanya Elang pada satpam.