Iringan mahasiswa yang tertib menuju ke dalam kampus mulai membelok ke belakang saat penyusup yang berpakaian aparat membuat panas para mahasiswa. Setelah mahasiwa marah. Lelaki itu segera berlari ke arah aparat kemudian pergi. Sementara para mahsiswa yang geram berusaha mengejarnya dan membuat para aparat semakin tak segan-segan bertindak. Bentrokan tak bisa lagi terelakkan antara aparat dan para mahasiswa. Situasi semakin tak kondusif ditambah dengan suara tembakan yang dilepasakan ke udara.
“Kita tidak izinkan adanya peluru sungguhan bukan?” seru Letkol Timur Pradopo. “Jangan sampai ada mahasiswa yang terluka nanti.”
“Siap Pak. Semua sudah diberi tahu hanya ada peluru karet. Semoga tak ada hal buruk.”
“Kau boleh pergi.”
Lelaki itu mengawasi dari jauh bagaimana anak buahnya memukul mundur mahasiswa kembali ke kampus. Ia tahu berhadapan dengan para jiwa mudah tak pernah mudah. Namun ia tak jua ingin ada yang menjadi korban, meski ia sendiri tak bisa melangkahi takdir di hari itu.
Elang dan Frankie mulai berlari saat situasi mulai tak terkendali. Semua orang memcari tempat perlindungan. Sebelumnya ia, Frankie dan Adny telah sepakat akan bertemu di belakang gedung jika mereka terpisah karena keadaan. Dan kini satu hal yang hanya Elang tahu bahwa ia harus segera memanjat pagar menyelamatkan diri dari kemarahan aparat yang mulai tak terkendali.
Semua mahasiswa mulai berlarian tak tentu arah. Sebagaian berusaja memasuki gedung dan kampus. Namun gerbang yang tinggi menghalangi sebagain lainnya. Mereka yang berhasil masukpun masih tak menjamin akan selamat kali ini, terlebih saat suara senapan mulai berbunyi dan membuat siapa saja bergidik ketakutan.
Sekuat tenaga Elang berusaha naik namun, langkahnya tak secepat Frankie yang berhasil melompat. Pemuda itu merasakan peluru mengenai tali pinggingnya dan ia segera berlari pergi menyelamatkan diri. Namun ia tak melihat Elang entah dimana kini.
Sementara Elang yang masih berada di atas pagar tak dapat mengelak saat sebuah peluru melesat begitu cepat mengenai dadanya.
Doorr ...
Dirinya terpelanting ke udara. Langit sore kota Jakarta yang biasa ia kagumi kini seakan begitu gelap.
“Laillahillallah,” ucapnya.
Ia ingat ada yang belum ia berikan pada Jehan. Maaf kepada mama dan papanya, semua hal yang belum ia lakukan ke Awangga dan kakak perempuannya. Serta wajah nenek, Frankie dan semua orang yang amat dicintainya.
Tubuhnya terjerembab ke tanah. Napasnya kini mulai tersengal. Ia menyadari bahwa mimpinya berberapa hari lalu adalah pertanda akan hari ini. Belum lagi semua kejanggalan yang terjadi sejak pagi tadi. Jika ia masih punya banyak waktu dan jika saja ia bisa ia akan mengatakan ribuan bahkan jutaan kali kalimat sayang dan cinta ke mama, papa dan keluarganya.
“Ma, Elang tak bisa pulang kali ini, maafkan Elang yang tak jadi anak yang bisa menemani mama sampai tua. Pa, Elang mohon maaf belum sempat beebakti kepada papa selama Elang hidup. Awangga, Kak, jagalah mama dan papa setelah Elang pergi, Elang titip mereka ke kalian. Frankie, Jehan, Adny dan yang lain terima kasih untuk masa yang indah kita lwati bersama,” serunya lirih.
Elang merasa tubuhnya mulai melemah. Ia tahu peluru berhasil menembus jantungnya. Rasanya sakit begitu amat, ia hanya dapat menahannya sendiri. Kini ia bisa merasakan darah mulai mengalir ke tanah dari tubuhnya. Matanya mulai berkaca-kaca kini.
Jalan ini begitu indah ya Rabb. Jalan kepergian yang Engkau rancang untukku. Namun sungguh aku takut setelah aku pergi, mereka akan tak rela mengetahui caraku pergi. Namun sungguh aku ridho dengan takdirmu ya Allah. Sungguh aku ridho ini jalan kematian yang kau rancamg untukku. Batinnya.
Elang kini hanya bisa menduga berapa lama lagi ia bisa bertahan. Sementara ia melihat teman-temannya tak memperdulikannya, di saat begini menyelamatkan nyawa sendiri adalah yang lebih penting. Asyik memikirkan hal itu. Ia tak sadar saat tubuhnya mulai diangkat.
“Ayo cepat bawa dia,” perintah seorang dosen yang ternyata melihatnya terkapar terkena tembakan. “Kamu bertahan ya Nak.” Dosen itu dibantu anggota senat dan mahasiwa lainnya.
Elang hanya mengerlingkan matanya. Ia tahu dosen itu hanya berusaha namun ia sadar waktunya takkan lama lagi.
Dirinya dibopong ke dalam sebuah mobil dan saat itu kesadsrannya semakin hilang
“Dia anak fakultas mana?” Masih ia bisa dengar suara dosen laki-laki itu.
“Sepertinya aku pernah meliahtnya Pak. Dia anak arsitek, dia punya sabahabat karib si Frankie itu, Bapak tahu kan?”
Dosen itu mengangguk. Ia segera menghubungi nomor tata usaha dan mencari nomor orang tua Elang.
“Namanya siapa?”
Mahasiwa lain yang membopong Elang tadi menyahut
“Namanya Elang Pak. Semester empat jurusan Arsitektur.”
“Oke baiklah.”
Segera dosen itu berhasil mendapatkan nomor rumah Tetty. Mamanya Elang sedari tadi berkali melihat ke arah pintu sebeb cemas dengan keadaan demo yang Elang sempat ia kabarkan sedang berlangsung siang tadi. Dirinya sendiri dilanda kecemasan yang tak berkesudahan, ia terus meminta perlindungan kepada Allah untuk keselamatan putranya itu.
Dan kini sebuah nomor baru masuk ke handpohonenya.
[“Halo,”] serunya. Bagaikan disambar petir di siang bolong Tetty mendengar ucapan dari seberang sana.
Papanya yang sudah pulang. Segera berdiri dan menemui istirnya yang tampak syok. Wanita itu telah terduduk setelah tak lama mengangkat telepon.
Elang kini busa mendengar suara mamanya meski melalui telepon, lantas disusul suara papanya.
[“Halo Pak. Benar ini orang tua Elang. Kami emmbawa Elang ke rumah sakit Pak. Dia terkena tembakan di bagian dada dan kondisinya kritis.”]