Elang & Tragedi Trisakti 98

Siska Indah Sari
Chapter #15

Mengenangmu

Ambulan dan iringan berarak itu akhirnya tiba juga di TPU Tanah Kusir. Disana ribuan mahasiswa dari berbagai daerah telah lebih dulu sampai dan bergabung dengan mahasiswa lain yang mengantar sejak ambulan bergerak dari rumah Elang.

“Aku tak menyangka sebegini banyak yang akan datang,” komentar Adny melihat ramainya tempat itu.

“Karena ada dua yang akan dimakamkan disini kan,” ucap Frankie. “Sahabatku pantas dilepas oleh banyak orang.”

Meski hatinya perih dan semua rasa menyatu di dadanya Frankie berusaha untuk tegar. Ia membantu papa dan ipar Elang mengangkat keranda menuju liang lahat dimana Elang akan dimakamkan.

Sementara Tetty berjalan lemah dibelakang bersama dengan Awamgga dan kakaknya. Tak pernah ia bayangkan hari memilukan dan memyayat hati ini akan tiba. Bahkan dalam mimpi sekalipun ia tak pernah sanggup memikirkannya, namun inilah kenyataan pahit di depan matanya kini.

Wanita itu hampir terjatuh dan putrinya membantunya berdiri.

“Mama tak apa?” tanya Awangga.

“Tak apa, ayo kita lanjut jalan,” sahut mamanya pelan.

Sementara papanya Elamg berjalan dengan tegak meski hatinya juga tak kalah tersayatnya. Frankie yang ada dibelakangnya tahu rasa sakitnya tak sebanding dengan apa yang kini di alami lelaki paruh baya itu.

Elang, kau lihat semua orang mengantarkanmu ke peristirahatanmu terakhir. Tapi sob, tetap saja aku belum bisa membuat diriku menyakini ini bukan mimpi dan kepergianmu juga adalah nyata adanya. Batin Frankie. Air matanya kembali menetes tatkala papanya Elang sempat berhenti saat melihat lubang dimana putranya itu akan disemayamkan.

Pasti berat buat Om. Ya Allah kuatkanlah keluarga Elang. Kuatkanlah kami. Pintanya.

Perlahan angin mulai menyapa daerah komplek perkuburan itu, angin yang seakan menatap mereka semua yang datang dalam duka yang sama, kehilangan yang sama dan rasa sakit yang sama.

Kembali papanya Elang berhalan dan diikuti yang lain. Keranda itu semakin mendekat ke lubang. lantas mereka mulai menurunkan keranda ke tanah.

Papanya Elang dan iparnya segera turun ke dalam lubang. Sementara diatas Frankie dan Adny yang mengangkat mayat Elang.

Lelaki paruh baya itu menerima jasad putranya seolah sedang menanggung sebuah gunung yang begitu berat di kedua tangannya.

Papa tak menyangka Nak. Kau akan pergi dan hari ini akan terjadi. Papa kira pala yang akan kau angkat Nak nyatanya papamu malah lebih lama.hidup. Elang, anakku sungguh papa tak bisa melakukan ini, namub papa tak mau kau menderita lebih lama sebelum dikubur. Pikirnya.

“Pa, waktunya kita turunkan,” seru mengagetkannya.

Papanya Elang mengangguk dan kemudian jasad itu mulai diletakkan ke tanah kemudian mereka memiringkannya. 

Hal yang paling berat ia lakukan seumur hidupnya adalah menutup tubuh anaknya dengan papan dan kemudian naik meninggalkan Elang dibawah dalam gelap dan sendirian nantinya.

Sebelum ia melempar tanah ia ingat lagi saat pertama ia menggendong anak ya itu. Anak lelaki pertama impiannya dan istrinya sejak lama yang akhirnya mewujudkan mimpi mereka. Lantas Elang tumbuh menjadi anak yang cerdas dan baik juga ceria, dan semakin lama Elang semakin bertambah besar hingga masuk sekolah. Terkadang akrena sibuk dirinya tak sempat melihat anaknya, namun seriap kali sebelum beranjak tidur dirinya slalau mengintip ke kamar Elang, memastikan anaknya tidur dengan pulas. 

Di saat yang lain dirinya akan sengaja membelikan Elang mainan agar ia tak merasa papanya tak menyayanginya. Meski ia jarang punya waktu bersama Elang namun setuap kali punya kesempatan libur ia selalu mengajak anaknya memancing. Hal itu karena ia ingin bisa mengenal Elang lebih jauh sebelum Elang semakin asing dengannya.

Lantas semakin cepat waktu berjalan Elang tumbuh dan memginjak dewasa. Ia tak lagi bisa dirinya gendong seperti bayi dulu. Elang juga tumbuh menjadi sosok yang tenang dan dewasa namun begitu sampai kapanpun Elang tetaplah seperti anak kecil di matanya. Dan anak kebanggaannya itu kini telah meninggalkannya. Tak ada lagi Elang yang akan beecerita tentang jampusnya. Tak ada lagi sosok itu yang akan ia intip sebelum tidur. 

Semya hal tentang Elang akan menjadi kenangan akhirnya, dan itu mengiris dan mengoyak-ngoyak diriny menjadi kepingan kini.

“Om, saatnya menimbun tanah,” seru Frankie.

Papanya Elangpun mengangguk, lantas ia mulai melemparkan tanah, diikuti istri dan keluarganya yang lain. Setelahnya lubang itupun ditutup penuh oleh tanah dan kemudian tibalah saatnya mereka akan menaburi bunga diatas makam itu.

“Mama, tak apa?”

“Tak apa. Papa tak apa?” tanya Tetty.

Suaminya menggeleng. “Ayo kita taburi bunga dulu baru berdoa.”

Tetty segera menganggil.

Sementara Awangga terus menangis sejak tadi. Frankie sendiri hanya duduk berjongkok di samping makam sahabatnya itu. Ia merasa bahwa waktunya bersama Elang begitu singkat dan semestinya ia membuatt lebih banyak kenangan dan cerita dengan Elang untuk bsia ia bawa seumur hidupnya yang akan ia lalui tanpa Elang lagi disisinya sebagai sahabat karibnya.

Selamat jalan Elang sahabatku, kau pergi tanpa pamit lebih dulu, dan kita tak sempat bertemu di tempat yang telah kita janjikan. Batin Frankie.

Bersamaan dengan tabur bunga isak tangis mulai kembali terdengar dari semua yang hadir.

Lantas mereka bersama-sama mendoakan Elang.

“Elang pasti bahagia banyak yang datang mendoakannya Pa,” seru Tetty.

Lihat selengkapnya