Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #3

Aturan Main yang Berbeda

“Jakarta Selatan sudah stabil,” kata Angkasa dalam sebuah rapat sore, memecah keheningan yang nyaman. Peta Jakarta yang besar terbentang di atas meja rapat, wilayah selatan yang berwarna hijau tampak kontras dengan empat wilayah lain yang masih menjadi area abu-abu misterius. “Arus kas kita sehat. Tim di lapangan solid. Sudah saatnya kita bergerak. Target berikutnya adalah Jakarta Pusat.”

Dika, yang sedang bersandar di dinding, langsung menegakkan tubuhnya. Ia menyeringai lebar, buku-buku jarinya bergemeletuk keras. “Akhirnya! Otot gue udah kaku kelamaan ngurus administrasi sama laporan harian.”

“Justru karena ini Jakarta Pusat, kita enggak akan pakai otot, Dik,” potong Tio dengan tenang, matanya tak lepas dari layar tablet yang menampilkan data demografi dan pusat bisnis. “Jakpus itu beda. Ini pusat bisnis dan pemerintahan. Di sana isinya bukan preman pasar, tapi gedung-gedung pencakar langit. Lawan kita bukan lagi orang yang bawa golok, tapi orang yang bawa koper kulit.”

“Terus kita mau datang ke sana bawa proposal?” cibir Dika, walau nadanya lebih penasaran daripada menentang.

“Kita harus masuk dengan cara yang lebih halus,” lanjut Tio, mengabaikan cibiran itu. Ia menunjuk sebuah titik di peta. “Kawasan Tanah Abang. Selama ini dikelola secara kacau oleh belasan kelompok kecil yang saling sikut. Tidak ada penguasa tunggal. Ini adalah titik masuk yang sempurna. Kita datang bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menawarkan solusi: sistem yang lebih baik, keamanan yang terjamin, dan pendapatan yang lebih adil bagi para juru parkir di sana.”

Nova, yang sejak tadi diam menganalisis laporan keuangan, akhirnya angkat bicara. “Risikonya besar. Membuka front baru berarti butuh modal awal untuk tim dan operasional. Kalau gagal, arus kas kita bisa goyang.”

“Justru itu,” Budi menimpali dengan semangatnya yang khas. “Kalau kita enggak berani ambil risiko, kita bakal selamanya jadi jagoan Jaksel. Kapan jadi penguasa Jakartanya? Gue setuju sama Angkasa, gas sekarang!”

Angkasa mengangguk, keputusannya sudah bulat. “Kita mulai dari satu titik. Kita lihat bagaimana reaksi mereka. Dika, lo ikut gue. Tio, pantau dari markas.”

Hari itu, Angkasa dan Dika berangkat menuju Tanah Abang. Penampilan mereka jauh dari citra Lima Serigala yang dulu. Tidak ada lagi jaket jins lusuh atau tatapan mata liar. Mereka mengenakan kemeja kasual yang rapi dan celana bahan, lebih mirip surveyor properti daripada dua jenderal lapangan. Ini adalah sebuah negosiasi bisnis, bukan deklarasi perang.

Mereka tiba di lokasi dan langsung ditelan oleh hiruk pikuk Tanah Abang yang memekakkan telinga. Lautan manusia, deru klakson, teriakan pedagang, dan aroma keringat bercampur menjadi satu simfoni kekacauan yang brutal. Angkasa mengamati para juru parkir liar yang bekerja serabutan, berebut recehan dengan cara yang tidak efisien. Di dalam kekacauan ini, ia melihat potensi. Potensi untuk menciptakan keteraturan, dan dari keteraturan itu, lahir pundi-pundi uang.

Namun, sebelum mereka sempat menemui koordinator parkir di sana, langkah mereka dihadang oleh dua orang lelaki yang seolah turun dari planet lain. Mereka mengenakan kemeja batik lengan panjang yang licin, celana bahan yang disetrika sempurna, dan sepatu kulit pantofel yang mengilap meskipun berjalan di atas aspal yang kotor.

“Selamat siang. Bisa kami bicara dengan Bapak Elang Angkasa?” sapa salah satunya, suaranya sopan, terpelajar, namun tanpa kehangatan sedikit pun.

Angkasa dan Dika saling pandang, terkejut sekaligus waspada. Mereka tidak menyangka akan dikenali secepat ini.

Lihat selengkapnya