Pengungkapan Bang Jago tentang keberadaan Sindikat meninggalkan gema dingin di dalam benaknya, sebuah gema yang tidak bisa diusir oleh riuhnya markas atau laporan keuangan yang Tio sodorkan padanya. Ia telah memenangkan pertempuran-pertempuran kecil di jalanan, hanya untuk menyadari bahwa ia baru saja melangkah masuk ke dalam sebuah hutan belantara yang dihuni oleh predator-predator yang jauh lebih besar dan buas. Semua strategi yang ia tahu, semua keberanian yang ia miliki, terasa kerdil di hadapan musuh yang tidak memiliki wajah, yang senjatanya adalah hukum dan kekuasaan tak terlihat.
Ia merasa terombang-ambing di lautan yang tak ia kenali, dan di tengah badai itu, hanya ada satu mercusuar yang terus berkedip di dalam benaknya. Sebuah nama yang tersimpan di kontak ponselnya, sebuah pesan yang belum ia balas. Aisha.
Selama berhari-hari, ia menatap pesan itu. Satu kata di dalamnya, ‘rindu’ terasa seperti jangkar sekaligus belati. Jangkar yang menawarkan ketenangan, dan belati yang mengingatkannya betapa berbahayanya ketenangan itu bagi seseorang sepertinya. Menemui Aisha adalah sebuah tindakan egois. Menyeretnya, bahkan hanya di tepi dunianya yang kelam, adalah sebuah risiko yang tidak pantas ia minta untuk perempuan itu tanggung. Namun, di saat yang sama, ia sangat membutuhkan pertemuan itu. Ia butuh untuk sejenak melepaskan topeng Elang Angkasa, sang pemimpin Lima Serigala, dan kembali menjadi Elang, seorang pemuda yang tersesat dan butuh arah.
Dengan hati yang berat, ia akhirnya mengetikkan balasan.
Assalamualaikum, Bu. Saya baik. Ibu apa kabar? Kalau Ibu tidak sibuk, apa kita bisa bertemu besok sore? Ada tempat kopi yang tenang di daerah Kemang. Saya yang traktir.
Ia menekan tombol kirim sebelum keraguannya sempat mengambil alih.
Tempat kopi itu kecil, terselip di antara butik-butik mahal dan galeri seni. Sebuah tempat yang sengaja Angkasa pilih karena terasa seperti dunia lain, jauh dari kebisingan Tanah Abang atau aroma kemiskinan di rumahnya. Ia datang lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut paling dalam yang menghadap ke jendela, tempat di mana ia bisa melihat tanpa terlalu banyak terlihat. Jantungnya berdebar dengan ritme yang asing, sebuah debaran yang tidak ia rasakan bahkan saat menghadapi puluhan musuh.
Kemudian, ia melihatnya. Aisha berjalan masuk, tidak lagi dalam balutan seragam guru yang formal, melainkan sebuah blus sederhana berwarna krem dan kerudung berwarna senada. Tanpa seragam itu, ia tidak lagi terlihat seperti Aisha, wali kelasnya. Ia terlihat seperti Aisha, seorang perempuan dengan senyum teduh yang mampu menenangkan badai di dalam diri Angkasa hanya dengan tatapan matanya.
“Assalamualaikum, Elang,” sapanya lembut, mengambil kursi di hadapan Angkasa.
“Waalaikumsalam, Bu,” jawab Angkasa, suaranya sedikit serak. Ada keheningan yang canggung di antara mereka selama beberapa saat, hanya diisi oleh suara mesin penggiling kopi dan alunan musik jazz yang samar.
“Terima kasih sudah mau bertemu,” kata Angkasa akhirnya, memecah keheningan. “Saya … saya minta maaf karena menghilang begitu saja waktu itu.”
Aisha tersenyum kecil. “Enggak apa-apa. Saya mengerti. Surat yang kalian tinggalkan sudah menjelaskan semuanya.” Ia menatap Angkasa lekat-lekat, tatapannya penuh dengan kepedulian yang tulus. “Yang terpenting, kamu baik-baik saja, kan? Waktu itu … kalian terluka.”