Ketenangan yang Angkasa rasakan setelah pertemuannya dengan Aisha adalah sebuah kemewahan yang fana, seperti embun pagi yang lenyap begitu disinari oleh kerasnya matahari Jakarta. Ia kembali ke markas dengan secercah harapan di hatinya, sebuah kehangatan yang membuatnya lupa sejenak akan dinginnya dunia yang ia pimpin. Namun, perang tidak pernah mengenal jeda.
Tembakan pertama dari Sindikat datang bukan dalam bentuk ledakan, melainkan dalam bentuk bisikan birokrasi yang mematikan. Pagi itu, Tio masuk ke ruangan Angkasa dengan wajah yang lebih tegang dari biasanya. Di tangannya ada sebuah map berisi dokumen-dokumen resmi.
"Gagal, Ang," katanya pelan, meletakkan map itu di atas meja. "Pengajuan kita untuk mengelola area parkir di gedung perkantoran Mega Kuningan ditolak mentah-mentah."
Angkasa mengerutkan kening. "Ditolak? Alasannya apa? Bukannya proposal kita yang paling bagus? Kita bahkan menawarkan bagi hasil untuk kas daerah."
"Alasannya ..." Tio menunjuk sebaris kalimat di surat penolakan itu, "... tidak memenuhi kualifikasi administratif yang ditetapkan oleh dewan tata kota'. Enggak ada penjelasan lebih lanjut. Cuma stempel merah dan penolakan."
Dika, yang sedang menyimak dari ambang pintu, mendengus keras. "Kualifikasi tai kucing! Itu cuma cara halus buat bilang 'kalian enggak boleh masuk'."
Awalnya, Angkasa menganggapnya sebagai satu kegagalan biasa. Sebuah rintangan yang wajar dalam dunia bisnis. Namun, dua hari kemudian, badai itu datang dengan lebih deras. Tio kembali dengan laporan yang lebih buruk. Dua izin pengelolaan mereka di Jakarta Selatan, yang seharusnya hanya perpanjangan rutin, tiba-tiba ditahan oleh kantor pelayanan terpadu. Alasannya: "perlu peninjauan ulang atas dampak sosial dan keamanan". Di saat yang sama, Nova melaporkan bahwa rekening bank utama CV Serigala Perkasa dibekukan sementara.
"Kata pihak bank, ada 'pemeriksaan rutin terkait dugaan aktivitas mencurigakan'," kata Nova, suaranya dingin menahan amarah. "Semua arus kas kita berhenti total, Ang. Kita lumpuh."
Mereka semua berkumpul di ruang rapat yang kini terasa menyesakkan. Kepanikan mulai merayap. Ini bukan lagi serangan acak. Ini adalah serangan yang terkoordinasi, presisi, dan dirancang untuk mencekik mereka perlahan-lahan. Musuh mereka tidak menendang pintu; mereka merobohkan fondasi rumah mereka dari jarak jauh, menggunakan senjata bernama "peraturan" dan "prosedur".
"Kita harus gimana sekarang?!" bentak Dika, memukul meja. "Kita datangi kantornya? Kita hajar orangnya?"