Beberapa minggu berlalu dalam keheningan yang penuh badai. Di permukaan, CV Serigala Perkasa berhasil menahan gempuran birokrasi dari Sindikat. Berkat jaringan Bunga dan kecerdasan Tio, rekening mereka kembali cair dan beberapa izin usaha berhasil diamankan. Mereka tidak maju, tapi mereka juga tidak mundur. Mereka berada dalam sebuah perang dingin yang menguras energi dan mental, sebuah kebuntuan di mana setiap hari terasa seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis, tidak tahu kapan akan retak.
Keretakan yang sesungguhnya justru terjadi di dalam markas. Hubungan Angkasa dan Nova kini berada di titik beku. Mereka hanya berbicara seperlunya, setiap rapat di antara mereka terasa seperti negosiasi antara dua negara yang sedang berperang. Nova semakin sering menghabiskan waktu di lapangan, seolah jalanan yang keras kini terasa lebih ramah daripada kantornya sendiri. Sementara itu, Angkasa semakin tenggelam dalam dunia strategi dan angka bersama Bunga. Ia menemukan pelarian dalam efisiensi dan logika Bunga, sebuah dunia yang rapi dan teratur, sangat berbeda dari hatinya sendiri yang carut marut.
Dika dan Tio merasakan perpecahan itu. Mereka mencoba menjadi penengah, namun gagal. Kawanan itu kini terbelah menjadi dua kutub: Angkasa dan Bunga di satu sisi, Nova di sisi lain, dengan Dika dan Tio terombang-ambing di tengah-tengah. Naluri mereka sebagai serigala merasakan bahaya. Kawanan yang terpecah adalah kawanan yang lemah, mangsa empuk bagi predator yang lebih besar.
Predator itu akhirnya memutuskan untuk menunjukkan wajahnya.
Undangan itu datang bukan melalui ancaman atau teror, melainkan melalui cara yang paling modern dan tak terduga: sebuah email resmi. Email itu ditujukan kepada "Bapak Elang Angkasa, Direktur Utama CV Serigala Perkasa". Isinya singkat dan profesional, sebuah undangan untuk "pertemuan bisnis" guna "membahas sinergi dan potensi kolaborasi di wilayah Jakarta Pusat". Pengirimnya: Departemen Pengembangan Bisnis, Lingkar Emas.
Nama itu, ‘Lingkar Emas’ adalah nama yang Tio temukan setelah berminggu-minggu melacak jejak digital perusahaan cangkang yang menyerang mereka. Nama dari sang hantu. Pertemuan akan diadakan di sebuah ruang privat di restoran salah satu hotel bintang lima termewah di Jakarta.
"Ini jebakan, Ang. Udah pasti," kata Dika langsung, nadanya tegas. "Mereka mau mancing lo keluar dari sarang."
"Gue tahu," balas Angkasa, matanya tak lepas dari layar monitor. "Tapi ini juga kesempatan pertama kita untuk melihat wajah mereka. Selama ini kita cuma nonjok bayangan."
"Terlalu berisiko," timpal Nova, untuk pertama kalinya ia ikut bicara dalam rapat strategi setelah sekian lama. "Insting gue enggak enak. Mereka enggak mungkin ngajak ketemu kalau mereka enggak pegang kartu yang lebih kuat."
Tio mengangguk setuju. "Nova benar. Secara analisis risiko, keuntungan kita lebih kecil daripada potensi kerugiannya."
Angkasa menatap mereka satu per satu. Ia melihat ketakutan dan keraguan di mata sahabat-sahabatnya. Namun, ia tahu, melarikan diri dari pertemuan ini hanya akan menunda kehancuran mereka. "Kalau serigala takut datang ke sarang singa, dia selamanya akan jadi serigala," katanya, mengulang nasihat Bang Jago. "Gue akan datang. Tio, Dika, kalian ikut gue. Nova, lo pegang kendali di markas."