Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #7

Mata di Kegelapan

Pagi itu, suasana tegang itu terasa begitu pekat di ruang rapat. Mereka sedang membahas sebuah masalah operasional kecil, sekelompok preman independen yang mencoba membuat onar di salah satu titik parkir mereka di Pasar Minggu.

"Tiga orang sudah diamankan, Ang. Sudah diberi pelajaran," lapor Dika singkat, matanya menatap lurus ke papan tulis, menghindari tatapan siapa pun.

"Pelajaran seperti apa?" tanya Bunga, suaranya yang lembut terdengar begitu kontras di ruangan itu. "Apa kita perlu membuat laporan ke pihak berwajib untuk memberikan efek jera secara hukum?"

Dika mendengus pelan. "Laporan ke polisi enggak akan menyelesaikan apa-apa. Mereka cuma butuh satu bahasa yang mereka mengerti," katanya, sambil mengepalkan tangannya.

"Cara Dika sudah efektif," sela Nova dingin, matanya tertuju pada tablet di tangannya. "Pemasukan dari titik itu sudah kembali normal pagi ini. Enggak perlu diperpanjang." Itu adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan dalam rapat itu, sebuah kalimat yang mendukung Dika namun terasa seperti tamparan bagi Angkasa dan Bunga.

Angkasa memijat pelipisnya. Ia merasakan kelompoknya terbelah. Di satu sisi ada cara lama yang brutal namun efektif, yang diwakili oleh Dika dan Nova. Di sisi lain ada cara baru yang lebih bersih dan strategis, yang diwakili oleh Tio dan Bunga. Dan ia, sang pemimpin, berdiri di tengah-tengah jurang yang semakin lebar di antara keduanya. "Oke, masalah ini selesai," katanya, mencoba mengambil alih kendali. "Kita lanjut ke agenda berikutnya ..."

Di tengah atmosfer yang dingin itulah, pintu kantor mereka diketuk. Seorang lelaki muda berseragam kurir yang rapi dan bersih melangkah masuk. Penampilannya terlalu profesional untuk lingkungan Tebet yang sibuk. Ia membawa sebuah paket amplop cokelat berukuran A4 yang terlihat kaku dan penting.

"Permisi, paket untuk Bapak Elang Angkasa," kata kurir itu sopan, matanya menyapu seisi ruangan sebelum berhenti pada Angkasa.

Nova, yang mejanya paling dekat dengan pintu, berdiri untuk menerimanya. Ia menatap amplop itu dengan tatapan curiga. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada logo perusahaan. Hanya nama "Elang Angkasa" yang tercetak rapi dengan stiker label putih. "Dari siapa?" tanya Nova, nadanya tajam.

Lihat selengkapnya