Pagi setelah Angkasa menerima amplop cokelat itu terasa berbeda. Matahari terbit seperti biasa, namun cahayanya seolah tidak mampu menembus kegelapan yang kini menyelimuti jiwa Angkasa. Ia tidak tidur semalaman. Tumpukan foto Aisha dan pesan ancaman dari Sindikat terus berputar di benaknya seperti film horor tanpa akhir. Setiap kali ia memejamkan mata, yang ia lihat adalah bayangan gerbang sekolah Aisha, sebuah simbol dari dunianya yang rapuh yang kini telah ia seret ke dalam medan perangnya.
Naluri pertamanya adalah amarah. Sebuah amarah primal yang mendidih, mendesak untuk diluapkan dalam bentuk kekerasan. Ia ingin mencari para bedebah itu, menghancurkan mereka satu per satu hingga tidak ada lagi yang bisa mengancam orang yang ia pedulikan. Namun, amarah itu seketika padam setiap kali ia teringat pada taruhannya. Ini bukan lagi tentang dirinya. Satu gerakan gegabah darinya, dan nama baik Aisha, kariernya, seluruh hidupnya, akan menjadi korban. Untuk pertama kalinya, kekuatan fisiknya, keberaniannya di jalanan, terasa tidak berguna. Ia lumpuh, dilumpuhkan oleh perasaannya sendiri.
Ia harus menyembunyikan ini. Ia tidak bisa memberitahu siapa pun. Dika, dengan amarahnya yang meledak-ledak, pasti akan langsung bergerak tanpa pikir panjang. Nova, dengan tatapannya yang tajam, akan melihat ketakutan di mata Angkasa dan mungkin akan kehilangan kepercayaan padanya sebagai pemimpin. Dan Tio, meskipun logis, tidak akan punya solusi untuk masalah hati. Beban ini harus ia pikul sendirian.
Pagi itu, ia memanggil rapat mendadak. Wajahnya ia paksakan setenang mungkin, namun matanya yang kurang tidur dan rahangnya yang mengeras tidak bisa berbohong.
"Ada perubahan rencana," katanya, suaranya datar. "Untuk sementara, kita hentikan semua pergerakan di Jakarta Pusat. Kita fokus perkuat pertahanan di Selatan."
Keputusan itu langsung disambut dengan kebingungan dan protes.
"Berhenti? Kenapa, Ang?!" tanya Dika, nadanya tidak terima. "Kita baru aja dihajar. Harusnya kita balas! Bukan malah jadi pengecut!"
"Ini bukan soal pengecut, ini soal strategi," balas Angkasa, mencoba terdengar meyakinkan. "Mereka lebih kuat dari yang kita duga. Kita butuh waktu untuk mempelajari cara main mereka sebelum kita maju lagi."
"Sejak kapan lo jadi orang yang main aman, Ang?" timpal Nova, tatapannya menusuk. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Angkasa. "Ini bukan seperti diri lo."
"Orang bisa berubah, Nov," jawab Angkasa dingin.
Rapat itu berakhir dengan ketegangan yang menggantung di udara. Untuk pertama kalinya, perintah Angkasa tidak diterima dengan kepatuhan, melainkan dengan keraguan. Mereka tidak mengerti perubahan sikap pemimpin mereka yang mendadak. Mereka tidak tahu bahwa sang Alpha kini sedang bertarung dalam perang lain yang jauh lebih mengerikan di dalam batinnya sendiri.
Siang harinya, pesan itu datang. Dari Budi.
Bos gue mau bicara langsung dengan lo. Malam ini. Tempat yang sama.
Angkasa tahu ia tidak bisa menolak. Ia harus menghadapi hantu ini, mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Ia pergi seorang diri, melarang siapa pun mengikutinya.
Ruang privat di restoran hotel itu terasa lebih dingin dan lebih megah dari sebelumnya. Budi sudah menunggunya di sana, duduk santai di kursi utama sambil menyesap segelas minuman berwarna keemasan. Ia tersenyum saat Angkasa masuk, senyum seorang pemenang.
"Gue tahu lo bakal datang," kata Budi, memberi isyarat pada kursi di hadapannya.