Kedinginan di antara Angkasa dan Nova kini telah menjadi bagian dari udara yang mereka hirup di markas. Seperti musim dingin yang datang tanpa diundang, ia membekukan tawa dan melunturkan kehangatan. Nova mengubur dirinya dalam pekerjaan. Ia menjadi mesin yang sempurna, mengelola ribuan titik parkir di lapangan dengan efisiensi yang tanpa cela. Ia sengaja membuat dirinya sibuk, berlari dari satu sudut Jakarta Selatan ke sudut lainnya, karena bergerak adalah satu-satunya cara untuk lari dari kekosongan yang menggerogoti hatinya. Setiap kali ia kembali ke markas, ia akan melihat pemandangan yang sama: Angkasa dan Bunga, kepala mereka berdekatan di depan layar laptop, berbicara dalam bahasa bisnis dan strategi yang terasa semakin asing di telinganya.
Malam itu, Nova butuh udara. Ia butuh untuk melarikan diri sejenak dari kantor yang terasa seperti sangkar dan dari tatapan Angkasa yang kini terasa begitu jauh. Ia mengendarai motornya tanpa tujuan, membiarkan angin malam menerpa wajahnya, hingga tanpa sadar kakinya menuntunnya ke sebuah tempat dari masa lalu: sebuah jembatan penyeberangan tua di atas rel kereta, tempat di mana Lima Serigala dulu sering berkumpul saat mereka belum punya apa-apa selain mimpi nekat dan kantong yang kosong.
Ia duduk di bangku besi yang dingin, menatap lampu-lampu kereta yang melintas di bawah, sebuah ritual yang dulu sering ia lakukan untuk menenangkan pikiran. Di sinilah mereka dulu, berlima, berbagi sebatang rokok dan membicarakan masa depan. Di sini, semuanya terasa lebih sederhana.
“Sendirian aja, Nov?”
Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya. Sebuah suara yang begitu familier hingga membuat seluruh tubuh Nova menegang. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.
Budi melangkah pelan keluar dari bayang-bayang, berdiri beberapa meter darinya. Penampilannya sangat berbeda dari pertemuan terakhir mereka di hotel. Jas mahalnya telah berganti dengan kaus oblong hitam dan jaket kulit usang yang sama seperti yang dulu sering ia pakai. Ia tampak seperti Budi yang lama, Budi yang dulu adalah saudaranya.
“Ngapain lo di sini, Pengkhianat?” desis Nova, matanya menatap tajam, tangannya secara refleks sudah siaga di samping tubuhnya.
Budi mengangkat kedua tangannya, menunjukkan bahwa ia datang tanpa ancaman. “Gue cuma mau ngobrol. Sebentar aja. Gue kira lo udah lupa tempat ini.”
“Tempat ini udah mati, sama seperti lo buat gue,” balas Nova dingin.
Budi tersenyum sedih. “Gue tahu lo marah. Gue pantes dapetin itu.” Ia berjalan mendekat perlahan, bersandar di pagar jembatan, menjaga jarak beberapa langkah dari Nova. “Gue cuma kangen. Kangen sama kita yang dulu.”
Ia mulai bernostalgia, suaranya pelan dan penuh kerinduan palsu. “Inget enggak dulu kita di sini? Patungan beli Indomie sebungkus dibagi lima. Lo yang paling jago ngabisin kuahnya,” katanya, mencoba memancing senyum.