Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #10

Harga Sebuah Penolakan

Waktu dua puluh empat jam yang diberikan Budi telah menguap tanpa jejak, kini berganti menjadi hari ketiga. Angkasa tidak memberikan jawaban. Penolakannya adalah sebuah keheningan yang membangkang, sebuah deklarasi perang tanpa suara yang ia harap terdengar hingga ke singgasana Lingkar Emas.

Di markas, ia mengenakan topengnya. Wajah seorang pemimpin yang tenang, tatapan yang tajam, dan perintah yang tegas. Ia mendorong Tio dan Bunga untuk terus merancang strategi ekspansi seolah tidak ada apa-apa. Ia menyemangati Dika untuk memperketat keamanan di lapangan seolah hanya mengantisipasi preman-preman biasa. Pertunjukan itu begitu meyakinkan hingga tidak ada yang tahu bahwa di balik topeng itu, jiwanya sedang menunggu datangnya badai, tersiksa oleh setiap detik yang berlalu.

Setiap dering telepon membuatnya tegang. Setiap mobil asing yang berhenti di depan kantor membuat jantungnya berdebar. Ia terus-menerus memeriksa berita online, mengetikkan nama Aisha di kolom pencarian dengan tangan gemetar, takut menemukan sesuatu yang mengerikan. Ia hidup di ujung tanduk, berperang sendirian dalam labirin ketakutannya sendiri.

Nova, dengan instingnya yang tajam, tahu ada yang salah. Ia melihat Angkasa yang lebih sering menyendiri di balkon, menatap kosong ke lalu lintas Jakarta yang tak pernah tidur. Ia melihat bagaimana Angkasa menjadi lebih pendiam, lebih mudah tersinggung. Ia mengira ini adalah tekanan dari bisnis yang semakin rumit, atau mungkin sisa-sisa dari keretakan hubungan mereka. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Angkasa sedang menanggung beban rahasia yang bisa menghancurkan mereka semua. Angkasa telah membangun dinding di sekelilingnya, dan Nova sadar, untuk pertama kalinya, ia berada di luar dinding itu.

Serangan itu datang pada hari Senin pagi, hari tersibuk dalam seminggu, hari di mana aliran pemasukan digital mereka mencapai puncaknya. Serangan itu tidak datang dengan suara ledakan, melainkan dengan keheningan digital yang mematikan, diikuti oleh kekacauan yang terencana sempurna.

"SISTEM DOWN! SEMUANYA JATUH!"

Teriakan panik Tio dari ruang server, sebuah ruangan kecil yang telah ia sulap menjadi pusat komando digital mereka adalah tanda pertama bahwa neraka telah dimulai. Angkasa, Dika, Nova, dan Bunga bergegas masuk. Pemandangan di dalam ruangan itu adalah mimpi buruk seorang ahli teknologi. Tiga monitor di hadapan Tio menampilkan layar hitam yang dipenuhi barisan kode error berwarna merah darah. Peta digital Jakarta Selatan yang biasanya berwarna hijau kini padam total.

"Gue enggak ngerti, Ang!" kata Tio, suaranya bergetar karena frustrasi dan amarah. Jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan panik, mencoba menjalankan diagnostik, namun setiap perintah yang ia masukkan selalu ditolak. "Semua sistem pembayaran kita mati total. QRIS enggak bisa dipindai, transfer via dompet digital gagal semua dengan notifikasi 'layanan tidak tersedia'. Ini bukan serangan DDoS biasa. Ini ... ini seperti mereka punya kunci utama dari rumah kita. Mereka enggak mendobrak masuk, Ang. Mereka masuk pakai kunci serep!"

Di saat yang sama, di ruang utama, ponsel-ponsel yang didedikasikan untuk komunikasi lapangan mulai berdering serempak, menciptakan simfoni kekacauan. Nova, dengan wajah tegang, mengangkat satu panggilan, lalu yang lain, dan yang lain. Setiap jawaban yang ia berikan semakin pendek dan suaranya semakin berat.

"Halo, Pak Bejo? Kenapa?" Ia mendengarkan sejenak, matanya terbelalak. "Apa?! Saluran air gimana?!" Ia menutup telepon dan menatap Angkasa. "Di titik Bank Kebayoran, tiba-tiba ada segerombolan lelaki berseragam dinas kebersihan datang. Mereka bilang ada perintah perbaikan saluran air darurat. Seluruh area parkir diblokir, digali pakai alat berat. Enggak ada yang bisa masuk atau keluar."

Ponsel di tangan kanannya berdering. Panggilan dari Dika yang sedang berada di Tanah Abang.

"ANG! DI SINI KACAU BALAU!" teriak Dika dari seberang, suaranya nyaris tenggelam oleh deru sirene. "Ada razia gabungan dadakan! Satpol PP, Dishub, bahkan polisi, semua turun! Mereka bilang ada penertiban PKL, tapi yang mereka sikat cuma juru parkir kita! Pos kita dihancurin, orang-orang kita diangkut ke truk! Gue enggak bisa berbuat apa-apa!"

Lihat selengkapnya