Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #11

Badai Telah Tiba

Markas CV Serigala Perkasa kini bukan lagi sebuah kantor, melainkan pos komando yang sedang dihantam badai dari segala arah. Kekacauan adalah musik latarnya. Telepon berdering tanpa henti, dibanjiri oleh keluhan dan laporan panik dari ratusan juru parkir di lapangan. Di sudut ruangan, Tio membungkuk di depan monitornya yang menampilkan barisan kode-kode tak berarti, wajahnya pucat karena frustrasi saat ia berjuang memukul mundur serangan siber yang merontokkan seluruh sistem digital mereka. Di dekatnya, Dika berteriak di telepon, mencoba mengorganisir anak buahnya yang tak berdaya menghadapi blokade dan razia aparat yang terkoordinasi. Setiap laporan yang masuk adalah berita buruk baru, setiap menit yang berlalu adalah kerugian finansial dan reputasi yang semakin dalam.

Di tengah badai itu, Angkasa adalah mata badainya, titik sunyi yang dikelilingi oleh kehancuran. Ia berdiri mematung, mendengarkan semua laporan, memberikan perintah dengan suara yang ia paksa agar tetap tenang. Namun di dalam dirinya, sebuah neraka yang berbeda sedang berkecamuk. Ia tahu ini semua bukan sekadar serangan bisnis. Setiap laporan kegagalan, setiap teriakan frustrasi dari sahabat-sahabatnya, adalah gema dari ultimatum Budi yang terus terngiang di telinganya. Ini adalah harga dari penolakannya. Dan ini, ia tahu dengan ketakutan yang membekukan, barulah permulaan.

Ia menatap wajah lelah Nova yang sedang mencoba menenangkan seorang koordinator lapangan di telepon, lalu menatap Dika yang nyaris membanting ponselnya karena marah. Mereka semua berjuang mati-matian melawan musuh yang mereka kira adalah Sindikat. Hanya Angkasa yang tahu bahwa musuh sesungguhnya sedang menargetkan jiwanya, dan semua kekacauan ini hanyalah cara untuk membuatnya bertekuk lutut. Ia tidak bisa memberitahu mereka kebenarannya; pengakuan itu hanya akan menambah beban mereka dan menunjukkan bahwa pemimpin mereka telah mempertaruhkan segalanya karena sebuah rahasia pribadi.

Setelah berjam-jam berjuang tanpa hasil, malam membawa kelelahan yang pekat, namun tidak memberikan istirahat. Serangan bisnis itu hanyalah gelombang pertama. Gelombang kedua, yang jauh lebih kejam dan personal, datang saat fajar mulai merekah.

Serangan itu tidak menyasar bisnisnya, melainkan ketenangan jiwa Aisha.

Pagi itu, Aisha tiba di sekolah seperti biasa. Namun, saat ia berjalan menuju ruang guru, beberapa murid perempuan menatapnya dengan pandangan aneh, disusul dengan bisik-bisik. Ia mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanyalah gosip remaja biasa. Namun, saat ia tiba di mejanya, jantungnya serasa berhenti berdetak. Di atas tumpukan buku-buku tugas muridnya, tergeletak seekor burung merpati putih dengan leher yang telah dipatahkan. Tidak ada darah, hanya tubuh kecil tak bernyawa yang sunyi, sebuah simbol perdamaian yang telah dirusak dengan sengaja. Di bawahnya, secarik kertas bertuliskan satu kalimat dengan huruf kapital.

"JANGAN TERBANG TERLALU TINGGI."

Dengan tangan gemetar, ia menelepon Angkasa. Ia mencoba terdengar tenang, namun getaran dalam suaranya tidak bisa berbohong. Ia menceritakan apa yang terjadi.

"Ini ... pasti ada hubungannya denganmu, kan, Lang?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Di seberang telepon, Angkasa memejamkan matanya, tinjunya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa bersalah dan amarah yang luar biasa bergejolak di dalam dadanya. Umpatan paling kasar tertahan di tenggorokannya. "Itu ... mungkin cuma kerjaan anak-anak iseng, Bu," jawabnya, suaranya serak, sebuah kebohongan yang terasa seperti beling di mulutnya. "Ibu jangan khawatir. Aku akan pastikan enggak akan ada yang ganggu Ibu lagi."

"Bagaimana caranya, Lang?" tanya Aisha, dan dalam pertanyaan sederhana itu, terkandung semua ketakutan dan keputusasaan yang ia rasakan.

Lihat selengkapnya