Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #12

Menjaga Jarak

Di dalam ruang rapat yang pengap itu, pengakuan Angkasa menggantung di udara seperti asap tebal yang menyesakkan. Untuk pertama kalinya, Dika, Nova, dan Tio melihat peta perang yang sesungguhnya. Musuh mereka bukan hanya Sindikat, tetapi juga perasaan pemimpin mereka sendiri. Mereka akhirnya mengerti alasan di balik sikap Angkasa yang aneh, keraguannya, dan perintahnya yang tiba-tiba untuk bermain aman. Sang Alpha, serigala terkuat di antara mereka, ternyata memiliki satu titik lemah yang bisa dieksploitasi hingga hancur.

"Jadi, apa rencana lo sekarang, Ang?" tanya Dika setelah keheningan yang panjang. Amarahnya telah surut, digantikan oleh kekhawatiran yang suram. Ia kini mengerti, ini bukan lagi sekadar perang memperebutkan wilayah.

Angkasa menatap sahabat-sahabatnya. Di mata mereka, ia tidak lagi melihat keraguan atau protes, melainkan sebuah pemahaman yang solid. Mereka kini berada di halaman yang sama, menghadapi badai yang sama.

"Rencana kita," kata Angkasa, suaranya pelan namun mantap, "adalah melakukan persis seperti apa yang mereka inginkan."

Keputusan itu mengejutkan mereka.

"Kita turuti mau mereka untuk sementara," lanjutnya, melihat kebingungan di wajah mereka. "Ini bukan menyerah. Ini taktik. Kita berhenti berekspansi ke Jakarta Pusat. Kita beri mereka ilusi kemenangan, supaya mereka tenang. Sambil mereka lengah, Tio akan bekerja dalam sunyi, mencari setiap celah, setiap retakan di dinding kerajaan mereka. Kita akan bersembunyi di balik bayang-bayang dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang balik."

Ia tidak menyebutkan alasan utamanya. Ia tidak perlu. Mereka semua tahu ini bukan hanya soal taktik. Ini adalah cara Angkasa untuk menarik Aisha keluar dari garis tembak. Dengan berhenti memprovokasi Sindikat, ia berharap mereka akan berhenti meneror Aisha. Kelompok itu dengan berat hati setuju. Mereka percaya pada pemimpin mereka, meskipun keputusan ini terasa seperti sebuah kekalahan.

Malam itu, Angkasa melakukan hal paling sulit yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Jauh lebih sulit daripada menghadapi puluhan preman atau menantang seorang legenda. Ia duduk sendirian di kantornya yang gelap, menatap satu nama di kontak ponselnya: Bu Aisha. Layar itu menyala, memantulkan cahaya dingin ke wajahnya yang tegang. Di kepalanya, ia telah mengulang-ulang kalimat-kalimat kejam yang harus ia ucapkan, melatih suaranya agar terdengar datar dan tak berperasaan. Setiap kata terasa seperti beling yang harus ia telan.

Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, lalu menekan tombol panggil. Setiap dering yang terdengar di telinganya terasa seperti palu godam yang menghantam dadanya, satu per satu, meretakkan pertahanannya.

"Lang?" Suara Aisha di seberang terdengar begitu lembut, penuh dengan kekhawatiran dan kelegaan yang tulus. "Kamu baik-baik saja? Ibu khawatir sekali setelah kejadian kemarin. Apa kamu sudah makan?"

Rentetan pertanyaan penuh perhatian itu terasa seperti ribuan pisau kecil yang mengiris hatinya. Angkasa memejamkan mata erat-erat, mencengkeram ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih, memaksa dirinya untuk membangun dinding es di sekitar jiwanya.

"Bu," katanya, suaranya keluar lebih serak dari yang ia inginkan. "Saya telepon cuma mau bilang satu hal."

Lihat selengkapnya