Dunia Angkasa kini telah menyusut menjadi sebuah rutinitas yang dingin dan efisien. Pagi hingga malam, ia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Rapat, analisis data, perencanaan strategi, patroli, ia mengisi setiap detiknya dengan kesibukan, membangun sebuah benteng pekerjaan di sekeliling hatinya agar ia tidak punya waktu untuk merasakan kehampaan yang ditinggalkan oleh Aisha.
Tindakannya memutus hubungan terasa seperti sebuah amputasi; bagian vital dari dirinya telah hilang, meninggalkan luka menganga yang terus berdenyut dalam sunyi. Ia menjadi pemimpin yang lebih tajam, lebih fokus, dan lebih dingin. Sebuah perubahan yang membuat Tio dan Bunga kagum akan profesionalismenya, namun membuat Dika dan Nova khawatir, karena mereka melihat sahabat mereka perlahan menghilang, digantikan oleh mesin yang tak kenal lelah.
Keheningan dari Sindikat adalah sebuah keheningan yang mengancam. Setelah teror terhadap Aisha dan serangan media, mereka seolah menarik diri, membiarkan Lima Serigala tergantung dalam ketidakpastian. Angkasa tahu ini bukanlah tanda perdamaian. Ini adalah ketenangan sebelum badai yang lebih besar, saat musuh sedang mengamati dan menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan berikutnya. Di tengah ketidakpastian inilah, Bang Jago datang.
Ia tidak datang dengan pengawalan. Suatu sore, ia hanya muncul di ambang pintu kantor mereka seorang diri, mengenakan kemeja batik sederhana, lebih mirip seorang bapak yang sedang mengunjungi usaha anaknya daripada seorang legenda dunia bawah tanah. Namun, kehadirannya yang tenang justru memiliki bobot yang membuat seluruh ruangan seketika hening. Semua aktivitas berhenti. Dika yang sedang bercanda dengan anak buahnya langsung diam. Tio dan Bunga refleks berdiri dari kursi mereka.
“Lanjutkan saja,” kata Bang Jago sambil tersenyum tipis, matanya menyapu seisi ruangan, mengamati peta digital di layar monitor Tio dan tumpukan laporan di meja Nova. Ada sorot kepuasan di matanya. “Kantor kalian semakin rapi. Kelihatan seperti bisnis sungguhan.”
Ia berjalan santai, menepuk pundak Dika, mengangguk pada Tio dan Nova, sebelum akhirnya berhenti di depan ruangan Angkasa. “Ang, ada waktu sebentar? Kita ngobrol di luar.”
Mereka berdiri di balkon kecil kantor itu, tempat yang sama di mana Angkasa sering menyendiri. Dari sana, hiruk pikuk Jakarta di bawah terasa jauh. Bang Jago tidak langsung bicara. Ia menyulut sebatang rokok kretek, mengembuskan asapnya perlahan ke langit senja.
“Sindikat itu sedang menunggu, Ang,” katanya akhirnya. “Mereka sudah berhasil memukul mental lo. Sekarang mereka tinggal menunggu lo membuat kesalahan.”
“Gue tahu, Bang,” jawab Angkasa, suaranya berat.
“Perang ini beda,” lanjut Bang Jago, matanya menerawang. “Ini bukan lagi perang antar preman yang selesai dalam satu malam. Ini perang dinasti. Perang untuk membangun sesuatu yang bisa bertahan puluhan tahun, bahkan setelah kita semua sudah tidak ada. Ini soal warisan.”