Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #15

Mengguncang Sarang Lebah

Kepergian Nova dari ruang rapat malam itu meninggalkan sebuah lubang hitam yang menyedot semua sisa kehangatan di markas Lima Serigala. Pintu yang ia tutup dengan pelan itu seolah menjadi sebuah dinding permanen di antara mereka. Angkasa tidak mengejarnya. Egonya yang terluka dan kebingungannya yang total membuatnya membeku di kursinya, sementara kata-kata Nova yang tajam terus terngiang di telinganya. "Ini namanya menjual jiwa kita!"

Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Kelompok itu secara teknis masih utuh, namun jiwanya telah retak. Nova menarik diri sepenuhnya. Ia tidak lagi ikut dalam rapat-rapat strategi di kantor pusat. Ia kembali ke dunianya: jalanan. Ia bekerja tanpa lelah, memastikan operasional di lapangan tetap berjalan, berkomunikasi hanya melalui pesan singkat yang dingin dan profesional kepada Tio. Ia menjadi hantu di dalam organisasinya sendiri, sebuah bayangan yang kehadirannya terasa namun wujudnya tak pernah terlihat di markas.

Angkasa membiarkannya. Sebagian dari dirinya merasa itu yang terbaik, memberikan ruang bagi mereka berdua untuk mendinginkan kepala. Namun sebagian besar dari dirinya merasa kehilangan. Ia merindukan suara sinis Nova yang selalu membuatnya tetap membumi. Ia merindukan tatapan tajamnya yang bisa melihat kebohongan sekecil apa pun. Tanpa Nova di sisinya, ruang rapat itu terasa terlalu steril, terlalu korporat, dan terlalu sunyi.

Katalis yang menyadarkan Angkasa dari kelumpuhan emosionalnya datang dalam bentuk penderitaan orang lain. Ia, Dika, dan Tio pergi menjenguk Pak Mamat, koordinator parkir mereka di Cipete yang menjadi korban penculikan tempo hari. Mereka menemukannya terbaring di rumah kontrakannya yang sempit, tubuhnya penuh lebam dan salah satu lengannya digips. Namun, bukan luka fisiknya yang menghantam Angkasa, melainkan sorot matanya. Sorot mata penuh ketakutan yang belum pudar.

"Mereka bilang ... mereka akan kembali," bisik Pak Mamat, suaranya gemetar. "Mereka bilang Lima Serigala enggak akan bisa ngelindungin kami selamanya."

Melihat ketakutan di mata lelaki tua itu, Angkasa merasa muak pada dirinya sendiri. Nova benar. Sementara ia sibuk dengan drama hati dan intrik tingkat tinggi, orang-orangnya di lapangan, fondasi dari kerajaannya, sedang diteror dan menderita. Amarahnya yang selama ini tertahan oleh kebingungan dan rasa bersalah akhirnya menemukan fokus. Bukan lagi amarah pada Nova atau pada dirinya sendiri, melainkan amarah murni pada Sindikat.

Malam itu, dewan perang Lima Serigala kembali berkumpul. Namun, formasi mereka berbeda. Hanya ada Angkasa, Dika, Tio, dan Bunga. Kursi yang biasa diduduki Nova dibiarkan kosong, sebuah pengingat bisu akan perpecahan mereka.

"Kita enggak bisa diam saja," kata Angkasa, suaranya dingin dan mantap. "Mereka menyerang orang-orang kita. Mereka pikir kita lemah. Kita harus balas. Kita harus tunjukkan pada mereka bahwa mengguncang sarang serigala ada konsekuensinya."

"Hajar di mana, Ang?" tanya Dika, matanya langsung berbinar. "Kasih gue satu nama, satu alamat, besok pagi tempatnya rata sama tanah."

"Kita enggak akan menyerang orang mereka, Dik," sahut Bunga, mengambil alih. Ia menampilkan sebuah bagan rumit di layar monitor besar. "Menyerang preman mereka di jalanan itu yang mereka mau. Itu cuma akan memperkuat citra kita sebagai geng brutal di media. Kita enggak bisa menyerang otot mereka. Kita harus menyerang jantung dan otak mereka."

Lihat selengkapnya