Ancaman yang diterima Angkasa di ujung telepon malam itu bukanlah sekadar gertakan; itu adalah sebuah deklarasi. Perang dingin telah berakhir. Aturan main yang penuh dengan intrik hukum dan sabotase halus kini telah disobek, digantikan oleh aturan jalanan yang paling primitif dan kejam: teror. Angkasa merasakan perubahan itu di udara, di setiap dering telepon yang membuatnya tegang, di setiap bayangan di sudut jalan yang kini tampak seperti musuh.
Pikirannya langsung terbelah menjadi dua. Target pertama adalah Nova. Ia tahu Nova sedang berada di luar sana, sendirian, masih menyimpan amarah padanya. Kerentanan Nova membuatnya menjadi sasaran empuk. Dengan tangan gemetar, Angkasa mencoba meneleponnya. Panggilan pertamanya tidak diangkat. Panggilan kedua langsung ditolak. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan singkat masuk.
Gue lagi kerja. Jangan ganggu.
Pesan yang dingin dan profesional itu terasa lebih menyakitkan dari penolakan biasa. Ia tidak bisa melindunginya. Ia bahkan tidak bisa memperingatkannya tanpa terdengar seperti sedang mencoba mengendalikannya lagi. Dinding di antara mereka kini terlalu tinggi.
Target kedua, yang paling membuatnya mual karena takut, adalah Aisha. Ia telah dengan kejam memutus hubungan mereka, berharap dengan begitu Sindikat akan menganggap Aisha tidak lagi berharga. Ia berharap tindakannya itu akan menarik Aisha keluar dari papan catur. Kini ia sadar, ia salah besar. Di mata Sindikat, Aisha bukan lagi sekadar kelemahan; ia adalah senjata paling efektif untuk menghancurkannya.
Angkasa memerintahkan Dika untuk menempatkan dua orang terbaik mereka secara diam-diam di sekitar sekolah Aisha. Bukan untuk mendekat, hanya untuk mengawasi dari jauh. Sebuah tindakan putus asa yang ia tahu mungkin tidak akan ada gunanya melawan musuh yang begitu cerdas.
***
Serangan itu tidak datang pada Angkasa, melainkan pada Aisha, dan itu terjadi di tempat di mana ia seharusnya merasa paling aman dan dihormati: di sekolahnya sendiri.
Hari itu berjalan seperti neraka kecil. Sejak skandal online itu meledak, Aisha merasakan atmosfer di sekolah berubah. Rekan-rekan guru yang dulu ramah kini menyapanya dengan senyum kaku dan tatapan penuh selidik. Di koridor, ia bisa mendengar bisik-bisik murid yang langsung hening saat ia lewat. Ia merasa seperti seorang terdakwa yang sedang berjalan menuju ruang sidang setiap hari. Ia mencoba bertahan, mengenakan topeng profesionalismenya, mengajar dengan suara yang ia paksa agar tetap tenang.
Sore itu, saat bel pulang berbunyi, ia merasa sedikit lega. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah, mengunci pintu, dan melarikan diri dari tatapan-tatapan yang menghakimi. Ia berjalan melintasi lapangan parkir guru yang mulai lengang. Dari kejauhan, ia melihat ada kerumunan kecil di dekat tempat mobilnya biasa terparkir. Jantungnya mulai berdebar tidak enak.
Semakin ia mendekat, semakin jelas pemandangan itu. Beberapa guru dan murid berdiri di sana, beberapa menatapnya dengan iba, yang lain dengan rasa ingin tahu yang kejam. Mereka membuka jalan untuknya, memperlihatkan apa yang menjadi pusat perhatian.
Mobilnya.