Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #17

Senjata Sang Guru

Malam setelah teror itu, apartemen Aisha tidak lagi terasa seperti rumah. Ia telah menjadi sebuah sangkar yang sunyi, di mana setiap derit lantai atau suara klakson dari jalanan terdengar seperti langkah kaki musuh yang mendekat. Angkasa telah menepati janjinya. Dua lelaki berpenampilan biasa namun dengan sorot mata yang awas kini berjaga 24 jam sehari. Kehadiran mereka seharusnya memberikan rasa aman, namun bagi Aisha, itu justru menjadi pengingat konstan akan bahaya yang mengelilinginya, sebuah bukti nyata bahwa hidupnya tidak lagi normal.

Selama dua hari, ia mengurung diri. Ia mengambil cuti sakit dari sekolah, tidak sanggup menghadapi tatapan iba dan bisik-bisik yang ia tahu pasti akan menyambutnya. Ia duduk di sofanya berjam-jam, membiarkan televisi menyala tanpa suara, pikirannya kosong. Ketakutan, penghinaan, dan rasa tidak berdaya melumpuhkannya, membuatnya menjadi korban pasif seperti yang diinginkan oleh Sindikat. Ia merasa seperti seekor burung merpati yang sayapnya telah dipatahkan.

Namun, di hari ketiga, sesuatu di dalam dirinya berubah. Pemicunya adalah hal yang sepele: tumpukan kertas ujian murid-muridnya yang belum ia periksa, tergeletak di atas meja. Ia menatap kertas-kertas itu, melihat tulisan tangan yang berbeda-beda, jawaban yang benar dan salah. Di sana, ia melihat dunianya. Sebuah dunia yang dibangun di atas logika, aturan, fakta, dan kebenaran. Sebuah dunia di mana setiap masalah memiliki solusi jika dianalisis dengan benar.

Lalu ia teringat pada musuhnya. Sindikat. Mereka menyerangnya dengan kekacauan, dengan fitnah tanpa dasar, dengan teror yang tidak logis. Mereka adalah antitesis dari semua yang ia yakini. Dan saat itu, Aisha sadar. Ia tidak bisa melawan mereka dengan cara Angkasa. Ia tidak punya otot, tidak punya nyali untuk berkelahi. Tapi ia punya senjatanya sendiri.

Otaknya.

Sebuah kemarahan yang dingin dan terukur mulai menggantikan rasa takutnya. Ia tidak akan lagi menjadi korban yang menunggu diselamatkan. Ia akan menjadi pemain.

Langkah pertamanya adalah menghubungi Tio, bukan Angkasa. Ia tahu Angkasa saat ini dibutakan oleh emosi dan rasa bersalah. Ia butuh data, bukan drama.

"Tio, ini Bu Aisha," katanya saat panggilannya tersambung. "Ibu butuh bantuanmu. Tolong kirimkan semua dokumen yang pernah kalian terima dari musuh kalian. Surat somasi, nama perusahaan, nama firma hukum, semuanya. Kirimkan dalam resolusi setinggi mungkin."

Tio, yang terkejut sekaligus kagum dengan permintaan itu, langsung mengirimkan semua yang ia miliki. Di layar laptopnya, Aisha kini memiliki titik awal. Dua nama: PT Lintasarta Niaga dan Firma Hukum Jayakusuma & Partners.

Lihat selengkapnya