Penemuan Aisha adalah sebuah percikan api di tengah kegelapan. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu tertekan, ada secercah harapan di markas Lima Serigala. Atmosfer berubah dari keputusasaan menjadi sebuah fokus yang tegang dan penuh perhitungan. Tio dan Bunga langsung bekerja, menindaklanjuti temuan itu, menyusun strategi hukum, dan mencari pengacara yang cukup gila dan berani untuk melawan Sindikat. Ruang rapat mereka kini dipenuhi oleh istilah-istilah hukum dan bagan-bagan korporasi, sebuah medan perang baru yang asing bagi sebagian besar dari mereka.
Di tengah kesibukan perang di atas kertas itu, Dika merasa semakin tersisih. Ia menatap Tio dan Bunga yang berdebat sengit tentang yurisprudensi dan akta perusahaan, lalu menatap Angkasa yang menyimak dengan penuh konsentrasi. Ia melihat mereka bergerak di dunia yang tidak ia pahami. Keahliannya, insting jalanan, keberanian untuk adu jotos, kemampuannya membaca situasi di lapangan terasa tidak lagi relevan. Ia merasa seperti sebuah palu godam di tengah-tengah ruang operasi bedah. Kasar, kuat, namun tidak lagi dibutuhkan.
Perasaan itu diperparah oleh rasa bersalah yang masih menggerogoti jiwanya. Meskipun ia dan Angkasa telah berdamai, pengkhianatan Budi dan perpecahan yang terjadi setelahnya meninggalkan luka. Ia merasa telah gagal menjaga kesolidan kelompok. Ia meragukan Angkasa, dan kini ia meragukan nilainya sendiri di dalam kawanan yang telah berevolusi ini. Ia butuh penebusan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan, satu-satunya bahasa yang benar-benar ia kuasai.
Ia memutuskan malam itu. Sementara yang lain berperang di dunia maya dan di atas kertas, ia akan kembali ke habitatnya. Ia akan berperang di jalanan, di dalam bayang-bayang. Tujuannya satu: menemukan Budi.
Ia tidak meminta izin pada Angkasa. Ia tahu pemimpinnya itu tidak akan pernah menyetujuinya. Misi ini terlalu berbahaya, terlalu personal, dan terlalu liar. Ini adalah misi solo, sebuah perburuan pribadi untuk membuktikan bahwa kesetiaannya tidak pernah luntur, dan bahwa insting serigala jalanan masih merupakan senjata yang ampuh.
Saat yang lain terlelap, Dika menyelinap keluar dari markas. Ia tidak membawa banyak barang, hanya sejumlah besar uang tunai yang ia tarik dari bagiannya, sebuah ponsel butut sekali pakai, dan sebilah pisau lipat yang terselip di balik jaketnya. Ia meninggalkan dunia baru Lima Serigala yang penuh strategi dan kembali ke dunia lamanya yang penuh dengan informan dan transaksi di bawah meja.
Perburuannya dimulai di sudut-sudut paling kelam Jakarta. Ia mendatangi warung-warung kopi yang buka 24 jam, tempat di mana para preman kecil dan mata-mata rendahan berkumpul. Ia menyusuri lorong-lorong sempit di belakang pasar, tempat transaksi narkoba dan barang curian terjadi dalam bisikan. Di setiap tempat, ia melakukan hal yang sama: melempar segepok uang ke atas meja dan menanyakan satu nama. Bukan Budi, nama itu sudah mati. Ia menanyakan tentang "orang baru" di Lingkar Emas, seorang letnan muda yang cerdas dan ambisius, yang dulunya adalah bagian dari Lima Serigala.
Selama berhari-hari, ia hanya menemui jalan buntu. Dinding keheningan dan ketakutan menyambutnya di mana-mana. Nama Lingkar Emas adalah sebuah kutukan; tidak ada yang berani membicarakannya. Beberapa informan lamanya menolak berbicara, mata mereka penuh ketakutan. Yang lain memberinya informasi palsu, mengirimnya ke sarang kosong di ujung kota. Ia dihajar di sebuah gang sempit oleh tiga preman yang tidak suka dengan pertanyaannya, namun ia bangkit kembali, membersihkan darah di bibirnya, dan terus mencari. Frustrasi, kelelahan, dan kesendirian mulai menggerogotinya, namun bayangan wajah Tio yang terbaring kritis dan Angkasa yang menatapnya dengan tuduhan memberinya kekuatan untuk terus maju.
Titik terang akhirnya muncul di sebuah tempat biliar kumuh di kawasan Jakarta Utara. Di sana, ia bertemu dengan seorang informan tua yang dikenal licin seperti belut. Setelah didesak dengan segepok uang dan ancaman halus, lelaki tua itu akhirnya buka suara.