Malam di Ancol terasa berat dan lengket, sarat dengan bau garam dari laut dan bau busuk dari kanal-kanal yang terlupakan. Tim kecil Lima Serigala bergerak dalam senyap, menyatu dengan bayang-bayang di antara kontainer-kontainer berkarat dan lorong-lorong sempit yang mengelilingi gudang ekspedisi itu. Di telinga mereka, suara Tio terdengar seperti bisikan hantu, memandu setiap langkah mereka dengan presisi.
“Gerbang depan ada keributan. Tim Dika berhasil memancing perhatian,” bisik Tio. “Kalian punya jendela tiga menit. Masuk dari jalur pembuangan air di sisi utara. Sekarang.”
Angkasa memberi isyarat tangan. Ia, Nova, dan dua anak buah terbaik Dika meluncur turun ke dalam selokan yang kering, bau apeknya menusuk hidung. Mereka bergerak cepat, menaiki tangga darurat yang sudah berkarat, dan masuk melalui sebuah jendela ventilasi kecil di lantai dua, persis seperti yang tertera di denah Bunga. Keberhasilan infiltrasi itu terasa terlalu mudah, sebuah pertanda yang justru membuat Angkasa semakin waspada.
Mereka menyusuri koridor yang remang-remang, dindingnya dilapisi panel kayu mahal, kontras dengan penampilan luar gudang yang kumuh. Terdengar samar-samar suara musik jazz dan tawa dari balik sebuah pintu ganda di ujung koridor. Itu adalah ruang santai para petinggi Sindikat. Sarang Budi.
Tim pengaman mengambil posisi, sementara Angkasa mempersiapkan dirinya. Ini bukan lagi misi penangkapan. Ini adalah sebuah konfrontasi yang harus ia hadapi sendirian.
“Kalau keadaan memanas, gue kasih isyarat,” bisiknya pada Nova.
Nova menatapnya, matanya penuh kekhawatiran. “Jangan biarin dia masuk ke kepala lo, Ang.”
Angkasa hanya mengangguk, lalu mendorong pelan pintu berat itu.
Ruangan di dalamnya begitu mewah hingga terasa mencengangkan. Sofa-sofa kulit berwarna gelap, sebuah meja biliar di sudut, dan sebuah bar pribadi yang penuh dengan botol-botol minuman mahal. Dan di sana, duduk di sebuah kursi berlengan yang menghadap pintu seolah sudah menunggunya, adalah Budi.
Ia tidak terkejut. Ia hanya tersenyum tipis, mengangkat gelas kristal berisi cairan berwarna keemasan ke arah Angkasa. “Gue tahu lo bakal datang,” katanya, suaranya tenang. “Minum dulu?”
Angkasa tidak menjawab. Ia melangkah masuk, membiarkan pintu tertutup di belakangnya, mengisolasi mereka berdua dalam sangkar mewah itu. Ia menatap Budi, mencoba menemukan sisa-sisa sahabatnya yang dulu di dalam diri lelaki berpenampilan necis itu. Namun yang ia temukan hanyalah kekosongan yang dingin.
“Kenapa, Bud?” tanya Angkasa, suaranya serak. Hanya itu yang ingin ia tahu. “Cuma itu yang gue mau tahu. Kenapa?”